Bisnis.com, JAKARTA—Daya saing bidang konstruksi Indonesia yang masih rendah di tingkat global dinilai akan sulit untuk mengantisipasi serbuan negara asing ketika era Mmasyarakat Ekonomi Asean dibuka akhir tahun ini.
Seketaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Taufik Widjoyono mengatakan, pasar konstruksi Indonesia merupakan pasar terbesar di Kawasan ASEAN, yakni mencapai US$267 miliar.
Akan tetapi, pasar yang besar ini tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja Indonesia di bidang konstruksi yang masih rendah. Tahun ini, jumlah tenaga kerja konstruksi baru 7,2 juta orang.
Dari jumlah tersebut, 109.000 tenaga ahli bersertifikat, 387.000 tenaga terampil, dan 478 disetarakan dapat bekerja di kawasan ASEAN.
“Daya saing global bidang konstruksi Indonesia masih tertinggal dari Singapura dan Malaysia. Pasar cukup besar tapi posisi belum begitu bagus. Artinya, jika MEA dibuka, maka pasar kita akan diambil negara tetangga karena kita tidak bisa membendung tenaga konstruksi dari luar Indonesia,” kata Taufik seperti dikutip dari laman resmi Kementerian PUPR, Kamis (22/10/2015).
Taufik mengatakan, perbandingan antara jumlah insinyur dan jumlah penduduk di Indonesia adalah 3.000 insinyur berbanding 1.000.0000 penduduk. Padahal, Korea Selatan perbandingannya 25.000:1.000.000 penduduk.
Jumlah yang terbatas ini menuntut upaya lebih untuk menyiapkan tenaga kerja konstruksi dalam negeri di tengah agenda pembangunan infrastruktur yang sangat besar.
“Persentasi Insinyur dengan jumlah penduduk tersebut akan menentukan tingkat kemajuan infrastruktur di wilayahnya. Kondisi inilah harus dihadapi bersama, terutama bagi kementerian teknis dan perguruan tinggi,” kata Taufik.
Menurut Taufik, sarjana teknik tidak tertarik bekerja di bagian konstruksi di lapangan atau membangun infrasturktur di daerah. Para Insinyur lebih suka bekerja di bidang finansial atau di bidang teknik untuk pembangunan mall di perkotaan.
Tantangan pelaku jasa konstruksi di Indonesia salah satunya adalah ada peraturan yang tumpah tinggi, rendahnya daya saing kontraktor, dan rendahnya mutu konstruksi.
Ini menjadi penting karena terkait dengan tingginya angka kecelakaan kerja di bidang konstruksi. Selain itu juga rendahnya tenaga ahli dan tenaga terampil serta terbatasnya informasi konstruksi.
Meski demikian, tantangan utama menurutnya adalah kualitas tenaga kerja. Bila kualitas dapat ditingkatkan, masalah lain dapat ditekan. Perbaikan kualitas perlu dilakukan antara lain melalui sertifikasi.
Pengentasan semua masalah tersebut menurutnya harus dimulai dari perguruan tinggi.
Untuk itu, menurutnya setiap perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana teknik akan diberi tambahan dua bulan pelatihan/kursus untuk menjadi insinyur yang profesional yang bisa langsung praktek setelah lulus dan mendapat gelar Sarjana Teknik.
“Untuk itu, Ditjen Bina Konstruksi bertugas menyiapkan tenaga kerja ahli dan terampil bidang konstruksi untuk dapat membangun infrastuktur yang handal untuk negeri,” katanya.