Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai pemegang 44% cadangan nikel dunia, Indonesia seharusnya menjadi pemain utama dalam komoditas tambang ini. Selain itu, sudah selayaknya negara ini memiliki perusahaan tambang yang menjadi rujukan internasional.
Manuver pemerintah dalam memacu perekonomian dengan membuka keran ekspor mineral mentah bauksit dan nikel memang sudah berakhir akibat penolakan keras industri smelter. Kali ini Bisnis berkesempatan mewawancarai Alexander Barus, Chief Executive Officer Tsingshan Bintangdelapan Group, perusahaan smelter yang telah berinvestasi US$2,3 miliar di Tanah Air. Berikut petikannya.
Sebagai perusahaan yang masih melakukan pembangunan, mengapa Anda menentang relaksasi ekspor mineral mentah?
Pertama, sudah saatnya rakyat Indonesia menikmati hasil alamnya yang bernilai tambah. Khusus nikel, Indonesia menggenggam 44% cadangan dunia. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memiliki perusahaan smelter terbesar dunia.
Kedua, jika larangan ekspor mineral mentah amanat UU No.4/2009 direlaksasi, dapat dipastikan seluruh proyek pembangunan smelter dua komoditas ini akan berhenti akibat kesulitan bahan baku di tengah harga global yang semakin anjlok. Hal ini juga akan meningkatkan kredit macet perbankan.
Apakah Anda memiliki data atas keyakinan tersebut?
Perusahaan kami misalnya, dengan tambang seluas 46.000 hektare hanya mampu menutup kebutuhan ore 3 juta ton untuk smelter tahap I senilai US$635 juta berkapasitas 300.000 nickel pig iron (NPI) per tahun dengan kandungan nikel 10%.
Dengan demikian, smelter tahap II yang tengah dikerjakan senilai US$1,04 miliar berkapasitas 900.000 NPI, serta smelter tahap III yang akan dikerjakan senilai US$820 juta berkapasitas 300.000 NPI dengan total kebutuhan ore 12 juta ton per tahun harus dipasok oleh tambang perusahaan lain.
Jika ekspor mentah diperbolehkan kembali, maka kami kehilangan bahan baku.
Seberapa besar dampak pembangunan smelter terhadap perekonomian ketimbang ekspor mineral mentah?
Indonesia harus sabar menghadapi perlambatan ekonomi. Setelah seluruh proyek smelter di Tanah Air beroperasi, maka perekonomian negara akan terpacu. Misalnya, jika kebutuhan ore 3 juta ton smelter tahap I kami diekspor mentah dengan nilai saat ini US$30 per ton, maka hanya menghasilkan US$90 juta. Sementara dengan ekspor NPI 300.000 ton dengan harga US$1.000 per ton, kita akan mendapatkan US$300 juta.
Negara tinggal pilih mana yang lebih menguntungkan. Apalagi nilai tersebut hanya dari ekspor NPI kami, belum ditambah efek ganda keberadaan seluruh smelter di Morowali dengan nilai total US$6 miliar yang akan beroperasi penuh pada 2018 dengan menyerap tenaga kerja organik 12.000 orang serta membutuhkan pasokan batubara 1 juta ton untuk PLTU. Efek ganda yang kami hitung mencapai US$700 juta per tahun.
Seberapa vital keberadaan smelter terhadap pertumbuhan industri?
Keberadaan smelter memperkokoh dan mengisi kekosongan struktur industri. Di kawasan industri kami di Morowali, Sulawesi Tengah dengan luas 2.000 ha kelak akan diisi oleh 50 unit hingga 70 unit industri hilir.
Mitra kami di China telah siap memasukan industri-industri hilir tersebut ke Indonesia. Peluang ini harus ditangkap oleh pengusaha stainless steel dalam negeri, karena selama ini belum ada produsen bahan baku stainless steel di Asean.
Sebagai perusahaan yang didukung pendanaan dari perbankan China, apakah pemerintah Indonesia juga membantu Anda?
Guna mewujudkan pusat ekonomi baru di kawasan yang sebelumnya hanya hutan belantara, Kementerian PU-Pera telah membangun dua tower rumah susun untuk pekerja. Saat ini sedang memasuki pembangunan dua tower kedua.
Selain itu, Kementerian Perindustrian juga tengah membangun politeknik manufaktur yang dirancang sebagai pusat metal mineral di kawasan timur Indonesia. Lahan untuk politeknik kami berikan, dan saat ini 10 orang warga lokal kami beri beasiswa di Politeknik Manufaktur Bandung. Politeknik ini dirancang untuk menyuplai tenaga kerja level menengah di sejumlah perusahaan yang berdiri.
Apakah Anda masih membutuhkan bantuan pemerintah?
Dengan jumlah tenaga kerja saat ini baik organik maupun milik engineering, procurement and construction mencapai 6.000 orang, dibutuhkan sarana telekomunikasi yang mumpuni. Selama ini sinyal telepon sangat sulit.
Selain itu kawasan ini membutuhkan rumah sakit. Kami sudah memiliki pusat kesehatan, tetapi untuk penyakit berat belum dapat ditangani. Yang tak kalah penting untuk mengembangkan kawasan adalah pemerintah harus membangun bendungan air, pelabuhan umum dan bandara.
Kami telah memiliki pelabuhan khusus yang sejak April 2015 hingga kini digunakan mengekspor sekitar 80.000 ton NPI ke China. Dengan adanya pelabuhan umum dan bandara, maka kawasan ini akan semakin berkembang.