Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jateng Krisis Petani, Swasembada Pangan Sulit Tercapai

Mencari petani sekarang susah, orang kampung memilih merantau ke luar kota untuk mencukup kebutuhan sehari-hari, keluh Sodikin, petani asal Batang Jawa Tengah, kepada Bisnis, Selasa (6/10/2015).
Petani membersihkan gabah/Antara
Petani membersihkan gabah/Antara

Bisnis.com, SEMARANG - “Mencari petani sekarang susah, orang kampung memilih merantau ke luar kota untuk mencukup kebutuhan sehari-hari,” keluh Sodikin, petani asal Batang Jawa Tengah, kepada Bisnis, Selasa (6/10/2015).

Pernyataan Sodikin bagian dari keluhan jutaan petani di 35 kabupaten/kota di Jateng. Pria yang terlahir dari keluarga petani merasa prihatin dengan minimnya jumlah petani saat ini. Ditambah, lahan pertanian kian menyempit seiring konversi lahan menjadi perumahan, lahan industri dan fasilitas umum lainnya. 

Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian di Jateng termasuk tinggi. Badan Pusat Statistik menyebutkan pada 2003 masih punya 5,7 juta rumah tangga tani. Dalam 10 tahun berikutnya, tepatnya pada 2013, jumlah petani menyisakan 4,2 juta jiwa. 

Belum lagi, perhitungan berjalan hingga sekarang kemungkinan makin berkurang keberadaan petani. Dari angka tersebut, artinya rumah tangga tani pada 2013 di Jateng hanya 12,5% dari total penduduk sebanyak 33,5 juta. 

“Bisa jadi, 10 tahun mendatang terjadi krisis petani. Generasi muda sekarang sudah tidak mau jadi petani,” terangnya. 

Sodikin mengakui kelangkaan tenaga petani karena persoalan upah. Kondisi saat ini, lanjutnya, upah petani di desanya lebih sedikit ketimbang dari upah buruh bangunan. 

Rerata, upah petani per hari mencapai Rp50.000, yang berlaku pada kaum pria. Bagi perempuan, upah lebih rendah lagi yaitu Rp40.000/hari. 

Nominal upah itu belum termasuk kebutuhan makan dan minum apabila pekerjaan dilakukan dari pagi hingga sore hari. Di samping soal upah rendah, petani juga menjerit kala harga komoditas pangan turut anjlok. 

“Tidak ada patokan harga komoditas pangan, misal harga beras yang kadang naik turun,” terangnya. 

Alih fungsi lahan yang begitu dahsyat baik untuk perumahan, perkantoran maupun gudang menjadikan kondisi pertanian di tanah air semakin mengkhawatirkan, akibatnya produksi pangan semakin menurun. 

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jateng Agus Eko Cahyono mengatakan menyempitnya lahan pertanian yang berpengaruh pada produktivitas diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi sekitar 1,3% per tahun. Imbasnya, kebutuhan orang akan beras kian besar.

Kondisi tersebut, katanya, membuat petani pesimistis swasembada pangan yang ditarget pemerintah sulit tercapai.

Mestinya, lahirnya Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau PLP2B, dapat mencegah konversi lahan. Nyatanya, sejumlah daerah kurang merespons aturan pemerintah dengan dalih otonomi daerah.

“Adanya UU itu tidak diperkuat dengan peraturan pemerintah. Apalagi, lahan pertanian itu kebanyakan dimiliki langsung oleh petani, jadi pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak,” terangnya. 

Data 2011, pola konversi lahan sawah di Pulau Jawa untuk properti berkisar 58,7%, sawah menjadi lahan pertanian lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lain lain sebagainya berkisar 21,8% dan sawah menjadi non perumahan berkisar 19,5%.
 
Sementara itu, pola konversi yang terjadi di luar Pulau Jawa untuk perumahan berkisar 16,1%, pertanian lainnya 48,6% dan non perumahan berkisar 35,3%.  

“Kondisi itu yang terjadi dengan lahan sawah kita saat ini dan angka itu akan semakin membesar bila tidak segera dicegah,” terangnya. 

Agus menyatakan Jateng merupakan salah satu provinsi penyumbang swasembada pangan nasional. Target produksi padi di wilayah ini terus naik setiap tahun. Pada 2014, realisasi produksi padi berkisar 9,6 juta ton dengan luasan lahan panen sebesar 1,9 juta hektare. 

Adapun, target tahun ini produksi padi bisa menembus 11,6 juta ton atau naik 2 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 

“Saya enggak tahu, apakah sampai akhir tahun bisa memenuhi target itu. Sekarang kita ketahui lahan pertanian terdampak El-Nino. Produksi bisa turun,” terangnya. 

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Jawa Tengah Suryo Banendro mengakui sulitnya mencari tenaga kerja pertanian berdampak pada produktivitas lahan atau pun hasil. Apalagi luasan lahan pertanian juga mengalami penurunan. 

Menurutnya, penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) modern menjadi solusi mengatasi permasalahan itu.

Di samping mengatasi persoalan kurangnya tenaga kerja dan produktivitas hasil pertanian, imbuhnya, unit pelayanan jasa alsintan (alat mesin dan pertanian) di wilayahnya kini semakin berkembang menjadi unit bisnis. Artinya, untuk menghidupkan kelompoknya, para petani sudah menuju kemandirian.

"Jadi di tingkat petani, di pokja sudah ada bisnis. Di Jateng ada 2.074 pokja. Yang profesional sudah 25. Pekerjaan mereka itu sudah sampai Sumatra Selatan bahkan Irian [Papua]. Jadi unit pelayanan jasa alsintan ini di kelompok tani sudah business oriented," tutur alumnus UGM itu.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko menuturkan mekanisasi pertanian sudah menjadi kebutuhan. Dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan harus dimulai dari usaha tani yang efektif dan efisien. 

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Khamdi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper