Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ASOSIASI BANK BENIH: Kesalahan Data Picu Gejolak Pangan

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan kesalahan dalam mengumpulkan dan memgolah data di lapangan menyebabkan terjadi gejolak pangan sepanjang 2015.
Kesalahan data picu gejolak pangan./JIBI
Kesalahan data picu gejolak pangan./JIBI

Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan kesalahan dalam mengumpulkan dan memgolah data di lapangan menyebabkan terjadi gejolak pangan sepanjang 2015.

"Data untuk menentukan kebijakan, jika data keliru maka kebijakan pertanian juga tidak tepat, semua harus berdasarkan fakta di lapangan," kata Dwi Andreas Santoso pada diskusi publik mengenai ketahanan pangan di Jakarta, Jumat (2/10/2015).

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB tersebut menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian dan BPS Juli 2015 memperkirakan bahwa produksi padi 2015 akan meningkat sebesar 6,64 persen, dari 70,85 juta ton GKG pada 2014 menjadi 75,55 juta ton GKG atau naik sebesar 4,70 juta ton yang setara dengan 3 juta ton beras.

Selain padi, produksi jagung dan kedelai juga meningkat masing-masing sebesar 8,72 persen dan 4,59 persen.

"Kenaikan produksi tiga komoditas bersamaan belum pernah terjadi sebelumnya, angka itu juga sudah perhitungan El Nino?" kata Dwi.

Dari angka tersebut kebijakan impor pangan akhirnya dihentikan, karena tambahan jagung sebesar 1,35 juta ton diperkirakan meningkat pada 1,66 juta ton.

"Ya mudah-mudahan data itu benar, namun saya rasa tidak masuk logika, karena banyak fakta lapangan yang justru mengarah ke penurunan produksi pertanian nasional dari 2014," katanya.

"Bila pemerintah bergeming dengan data dan kebijakan yang ada maka akan terjadi krisis pangan yang mengkhawatirkan mulai akhir tahun 2015 atau bahkan sebelumnya," tutur Dwi.

Senada dengan Dwi, Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef), Enny Sri Hartati juga mengatakan Badan Pusat Statistik (BPS) haruslah independen dalam menyajikan data-data yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.

"BPS harus independen, dan juga tidak boleh melakukan analisis, menyajikan data saja dengan benar, kementerian yang terkait juga tidak boleh ada kepentingan sendiri-sendiri terhadap data," kata Enny.

  Enny menilai data yang dikeluarkan oleh BPS terkait persebaran pangan tidaklah akurat dan bermasalah dalam mencari data.

"Kalau memang pangan itu surplus, logikanya harganya pasti turun, namun kenyataannya harga masih naik," katanya.

Ia menjelaskan kalau memang tidak memerlukan impor pangan atau surplus, namun harga tetap naik dan permintaan tetap naik, berarti daya beli masyarakat naik drastis, sayangnya kenyataannya daya beli masyarakat masih rendah dengan banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Kalau data memang salah tolong diperbaiki, namun jangan ditutup-tutupi, dibutuhkan transparansi dalam menyampaikan laporan data BPS," kata Enny.

Diketahui, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta keran aliran impor pangan dibuka lebar, karena kekhawatiran ancaman krisis pangan yang menanti Indonesia.

Namun, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa pasokan pangan di Indonesia mengalami surplus serta tidak memerlukan membuka keran impor pangan.

Ia menjelaskan data tersebut berdasarkan dari laporan BPS.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper