Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Belum Bebas dari Ancaman Rawan Pangan

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 8000 spesies tanaman pangan, Indonesia ternyata belum bebas dari ancaman rawan pangan. Program swasembada pangan cenderung jalan di tempat, bahkan di beberapa daerah ditemukan kasus kelaparan dan gizi kronis yang cukup tinggi.n
Petani membersihkan gabah/Antara
Petani membersihkan gabah/Antara

Bisnis.com, JAKARTA -- Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 8000 spesies tanaman pangan, Indonesia ternyata belum bebas dari ancaman rawan pangan. Program swasembada pangan cenderung jalan di tempat, bahkan di beberapa daerah ditemukan kasus kelaparan dan gizi kronis yang cukup tinggi.

Berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2006-2012 menunjukkan peningkatan pertumbuhan produksi di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan konsumsi, khususnya untuk komoditas pokok seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula tebu. Bahkan, untuk sumber protein sendiri kesenjangannya hingga dua kali lipat di tahun 2012.

Peneliti Pusat penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),  Latif Adam mengatakan, rata-rata Pola Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2012 sebesar 88,2%  dari target sebesar 88,9% menyebabkan kinerja diversifikasi pangan Indonesia jauh dari ideal.

“Di sisi lain, diversifikasi pangan yang diamanatkan dalam Perpres Nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menekankan agar pemerintah daerah dan masyarakat untuk kembali kepada konsumsi makanan pokok yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya,” ujarnya dalam diskusi public di kantor LIPI, Jakarta, Rabu (30/9/2015).

Menurut Latif, pola produksi yang berorientasi pada beras menyebabkan pola konsumsi masyarakat menjadi belum ideal. Sementara itu, konsumsi umbi-umbian bergerak lambat bahkan tren konsumsi makanan instan juga merangkak naik.

“Pola konsumsi yang tidak berimbang ini akan berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat seperti kekurangan gizi, obesitas dan masalah kesehatan lainnya,” jelas Latif.

Tingkat kesehatan masyarakat yang rendah dari sisi ekonomi tentu akan menjadi hambatan dalam pembangunan nasional karena akan mengganggu tersedianya sumber daya manusia yang prima dan akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper