Bisnis.com, JAKARTA - Mengutip data Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua (2013), Papua merupakan provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Papua mengambil 21% dari luas seluruh wilayah Nusantara.
Lebih dari separuh wilayah Papua sendiri masih tertutup hutan tropis yang lebat. Masyarakat memiliki kebiasaan hidup berkelompok berdasarkan marga atau nama kelompok sebuah keluarga.
“Nah, setiap marga biasanya memiliki dusun atau wilayah hutan sendiri. Dari hutan tersebut mereka biasanya mencari sagu untuk makan sehari-hari dan berburu hewan,” kata salah satu tokoh adat dan agama Papua, Romo Amo saat ditemui di Jakarta dalam festival makan sagu di Lembaga Bantuan Hukum, pekan ini.
Sagu bagi masyarakat Papua layaknya nasi untuk sebagian besar masyarakat Indonesia yakni sebagai makanan pokok yang disantap setiap hari. Sagu di sana tumbuh secara liar, merawatnya pun tidak susah seperti sawah.
Setiap batang sagu yang sudah menunjukan patinya berarti menandakan sagu tersebut siap untuk diolah. Batang sagu tersebut akan dibelah menjadi dua dan diambil sarinya dengan memeras batang tersebut.
Setelah sarinya terambil barulah dicampur dengan air dan di masak. Cara memakannya pun beragam, anak-anak di sana biasanya suka langsung memakan tanpa dicampur dengan bahan lain.
Namun, untuk kegiatan upacara adat atau pertemuan resmi biasanya dimasak dengan daging yang kemudian diberi nama Sagu sep. Sagu sep sendiri dibagi lagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan campurannya.
Ada Kumobo yakni sagu yang dicampur dengan kelapa dan daging dan Wanggilamo atau sagu yang dicampur dengan daging yang sudah dipanggang. Selain itu ada Nggalamo, sagu yang dicampur dengan kelapa dan daging yang dipotong besar-besar dan Kaka atau sagu yang dicampur dengan kelapa, daging dan ditambah dengan santan. Terakhir ada Siu, sagu yang dicampur dengan pisang.
“Sangat beragam sekali pengolahannya, sagu sendiri memiliki makna yang dalam sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat kita [Papua]. Bahkan mereka dengan tegas mengatakan tanpa Mahuze [Sagu] yang tumbuh maka semua orang akan mati,” ujar Amo.
Amo menambahkan sagu sangat mengental dalam jiwa masyarakat Papua karena mereka tidak akrab dengan beras. Di sana beras dijual dengan harga yang mahal, masyarakat hanya akan membeli sesekali saja.
Namun, jauh sebelum kebijakan Raskin 1998 atau beras bagi masyarakat miskin hampir seluruh masyarakat tidak mengenal makan nasi. Selain daerah geografis yang tidak cocok untuk menanam padi, beras juga bukan salah satu kearifan lokal Papua yang bersahabat dengan alamnya.
Menurut Amo, bagaimanapun kebijakan pangan dari pemerintah pusat tentang produksi masal beras, masyarakat Papua tetap akan mempertahankan budaya yang dianut dari leluhurnya. Budaya yang tumbuh di tanah pertama mereka berpijak pada bumi pertiwi, juga mengiringi setiap cerita kehidupannya.
“Sago grows, no body ever hungry!”