Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah pihak menilai standar ambang batas harga properti yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) perlu diselaraskan dengan Pajak Penghasilan (PPh).
Pekan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyampaikan, pemerintah akan segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/2013 terkait jenis barang kena PPnBM dengan batas hunian mewah di atas Rp10 miliar.
Sebelumnya, pada Mei 2015, pemerintah mengeluarkan PMK Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah disebut ada enam jenis barang sangat mewah yang dipungut PPh Pasal 22.
Salah satunya properti rumah dan tanahnya serta apartemen dengan batasan harga jual minimal masing-masing Rp 5 miliar.
Executive Director Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, standar harga yang dikenakan dalam PPnBM dan PPh memerlukan harmonisasi.
Bila pemerintah jadi menetapkan PPnBM untuk kategori properti mewah dengan harga Rp10 miliar, maka golongan properti sangat mewah yang terkena PPh perlu dinaikkan dari standar saat ini sebesar Rp5 miliar.
"Tetap perlu diselaraskan, karena kita dalam sistem pajak yang sama. Kosekuensinya bila PPnBM baru diberlakukan, PMK PPh pasal 22 juga direvisi,” ujarnya pada Bisnis.com di Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Menurut Yustinus, paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah pada 9 September lalu menunjukan sebuah kejelasan bahwa negara mendukung kinerja industri nasional. Oleh karena itu, bila tidak segera diturunkan dalam peraturan yang tepat, momentum optimisme ini bisa menghilang begitu saja.
Baik PPnBM maupun PPh, sambungnya, juga berfungsi untuk mengatur pola konsumsi masyarakat, karena tidak semua orang bisa akses. Adanya pemasukan dari pajak nantinya bisa didistribusikan kepada pihak yang tidak kena pajak, yakni masyarakat ekonomi menengah-bawah.
Dia menyimpulkan, pelaku usaha membutuhkan adanya tiga hal dari regulasi, yakni kejelasan, kepastian, dan konsistensi. Tiga hal inilah yang seyogyanya menjadi perhatian pemerintah ke depannya.
Direktur Ekskutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, pemerintah perlu cepat tanggap dengan segala efek kebijakan, karena dampaknya paling mengena terhadap konsumen. Adanya ketidakpastian dalam hal pajak membuat calon konsumen cenderung memilih menunda pembelian.
Pasar yang lesu kemudian membuat pengembang membatasi produksi suplai properti baru. Di titik inilah industri properti yang memiliki 174 sektor usaha turunan kurang bergairah, sehingga pertumbuhan perekonomian juga melambat.
Dalam tiga tahun terakhir, penjualan properti memang mengalami tren menurun. Berdasarkan data IPW pada 2014 penjualan turun 60% secara tahunan (year-on-year/ YoY) dibandingkan 2013. Pada semester I/2015, penjualan turun kembali sekitar 23%.
Mengenai ambang batas PPnBM dan PPh, sambung Ali, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi. Pasalnya, tidak mungkin standar barang sangat mewah berada di bawah standar barang mewah.
“Apa ini pernyataan batasan PPnBM naik ini tertukar dengan PPh, ini yang perlu adanya kejelasan segera,” katanya.
Menurutnya, penetapan PPnBM dan PPh perlu dilakukan secara cepat, karena juga berkaitan dengan rencana pemerintah membuka akses pembelian properti oleh warga negara asing (WNA) dengan batas Rp10 miliar.
Direktur PT Modernland Realty Tbk Andy K.Natanael mengatakan, sebetulnya pelaku usaha senang dengan keputusan PPnBM untuk properti Rp10 miliar. Namun, adanya periode ketidakpastian dalam menunggu regulasi seperti inilah yang membuat developer dan pasar masih menunggu.
“Dalam situasi regulasi yang belum jelas, sulit menjual properti saat ini. Sebetulnya pasar ada uang ada, masalahnya mereka [investor] gak sabar,” tuturnya.