Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Divestasi Hortikultura, Industri Perbenihan di Simpang Jalan

Aturan soal divestasi saham asing di industri pembenihan hortikultura menjadi ujian serius bagi Pemerintahan Kabinet Kerja.
Produsen jagung hibrida PT DuPont Indonesia dengan produk Pioneer gelar temu pelanggan
Produsen jagung hibrida PT DuPont Indonesia dengan produk Pioneer gelar temu pelanggan

Polemik Divestasi Asing

Aturan soal divestasi saham asing di industri perbenihan hortikultura itu mencuatkan polemik di sejumlah kalangan.  Banyak yang mendukung beleid itu, sebaliknya tidak sedikit yang menolaknya.

Waki Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron mengatakan UU No.13/2010 tidak seharusnya diubah, karena ada perusahaan asing memiliki opsi untuk menggandeng perusahaan lokal. “Itu amanah undang-undangnya dan kami tidak merekomendasikan untuk direvisi,” tegasnya.

Divestasi asing dalam industri pembenihan dinilai sebagai langkah strategis untuk mendukung pelaku industri dalam negeri.

Rachmat Pambudi, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan investasi asing di sektor pembenihan tidak banyak memberikan nilai tambah kepada negara. Pasalnya, baik benih ataupun hasil pertanian yang dihasilkan lebih banyak dipasarkan di dalam negeri dan tidak untuk ekspor.

"Investasi pembibitan yang high tech kerjakan oleh asing silahkan, tapi kalau pemurnian cabai atau jagung hibrida tidak perlu asing. Kita harus memilah-milah mana yang menguntungkan kita. Kalau dia melakukan investasi kemudian hasil produksi untuk ekspor, ya silakan," ujarnya kepada Bisnis.com.

Rachmat menuturkan kedua kebijakan pemerintah soal UU Hortikultura dan paket deregulasi tidak layak dipertentangkan. Pasalnya, pemerintah juga harus melindungan pelaku usaha dalam negeri. Investasi asing harus memberikan nilai tambah dan bukan menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar.

“Kalau investasi di Indonesia, pasarnya dalam negeri, kemudian keuntungan keluar, bukan itu yang diharapkan. Yang diharapkan ialah capital inflow yang menimbulkan sisi peningkatan pendapatan, jangan hanya jadi pekerja,” tambahnya.

Rachmat mengatakan untuk pembenihan sudah banyak dikembangkan oleh pelaku dalam negeri. Indonesia, menurutnya, sangat unggul untuk pembenihan tanaman tropis karena kondisi geografis yang beriklim tropis.

Namun, Indonesia juga membutuhkan tanaman sayuran subtropis karena memiliki beberapa wilayah yang cocok untuk tamanan subtropis. Untuk pembenihan subtropis ini, asing masih memainkan peran dominan.

“Saya kira jika kampus-kampus di Indonesia diberi kesempatan dan dukungan finansial mereka bisa mengembangkan pembenihan termasuk yang subtropis. Ini tergantung pada kesempatan dan dukungan,” paparnya.

Guru Besar Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan divestasi asing hingga 30% merupakan suatu yang positif, karena membuka kesempatan kepada pelaku lokal untuk mulai menyasar industri pembenihan.

Menurutnya, pelaku dalam negeri siap untuk mengembangkan pembenihan. “Tidak masalah [divestasi asing], pembenihan biar saja domestik yang garap. Kalau tidak mampu ya harus ada kesempatan supaya mampu,” tambahnya

Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Karen Tambayong  menyatakan keberadaan investasi asing dinilai sangat mendorong perekonomian di tengah kelesuan ekonomi global.

"Saya pikir divestas) ini sangat dipaksakan, belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Produksi hortikultura lokal belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga kalau dipaksakan bisa terjadi gejolak pasar, yang sulit dikendalikan," katanya.

Karen menyatakan mendukung pengembangan industri hortikultura domestik untuk menjadi lebih kuat dan mampu bersaing di tingkat global. Namun, tambahnya, pemerintah sepertinya menutup sebelah mata terhadap keberadaan industri hortikultura lokal yang belum sepenuhnya mandiri.

Investasi asing menurut Karen, akan memberikan dorongan terhadap ekonomi lokal, seperti penyerapan tenaga kerja, pengembangan ekonomi wilayah serta ada transfer pengetahuan.

"Daripada mengandalkan impor langsung, lebih baik mereka itu membenamkan investasinya di dalam negeri, diproduksi di dalam negeri dan menyejahterakan rakyat banyak," katanya.

Karen menyatakan, pengusaha sangat mendukung misi pemerintah untuk mengembangkan hortikultura local. Namun dengan syarat jangan ada pasal titipan yakni pasal 100 dalam UU No.13/2010 tentang divestasi asing.

Menurut dia, apabila pemerintah terus memaksakan kehendak untuk menyingkirkan investasi asing, tentunya mereka juga akan memilih alternatif lainnya seperti investasi di Malaysia, Vietnam ataupun China. "Lalu apa gunanya mendorong investasi, kalau investor yang ada malah disuruh pergi," katanya.

Saat ini pemerintah telah menyusun Rancangan Permentan tentang Pedoman Divestasi Saham di bidang Usaha Hortikultura, sebagai tindak lanjut amanat pasal 100 dan pasal 131 UU No 13/2010 tentang hortikultura.

Di dalam rancangan Permen Bab II yang mengatur divestasi saham khususnya pasal 4 ayat 1, menjelaskan perusahaan hortikultura dengan kepemilikan modal asing wajib melakukan divestasi saham sehingga saham yang dimiliki menjadi paling banyak 30%.

Pada ayat 2, jika terjadi peningkatan jumlah modal pada usaha di bidang hortikultura yang mengakibatkan saham Peserta Indonesia terdilusi, sehingga saham peserta Indonesia kurang dari 70 persen, perusahaan hortikultura wajib menawarkan saham kepada peserta Indonesia.

Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, dalam kondisi ekonomi sedang terpuruk, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang pro terhadap investasi.

Kebijakan pemerintah membatasi investasi di bidang horltikulutra, menurut dia dinilai kurang tepat, mengingat sektor ini belum mampu swasembada.

"Jika memang pemerintah bisa membuktikan dapat memenuhi kebutuhan nasional secara mandiri, kami dukung. Akan tetapi jika memang masih belum bisa mandiri maka investor masih dapat kita andalkan," katanya.

Sarman menegaskan hampir semua kebutuhan bahan pokok saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri. Namun dalam kondisi ini, pemerintah justru membatasi investasi.

Impor produk hortikultura Indonesia, tambahnya, rata-rata mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun, sedangkan luas areal tanam yang hanya sekitar 1 juta hektare juga cenderung terus berkurang.

Ketua Umum Hortindo Afrizal Gindow menegaskan pembatasan investasi asing di industri perbenihan justru akan merugikan petani dan ekonomi nasional. Para petani bisa kesulitan untuk mendapatkan varietas bibit unggul.

"Ini bukan masalah asing atau bukan, ini masalah pemanfaatan. Tidak dipungkiri ada transfer teknologi, teknologi pertanian kita berkembang," katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dara Aziliya
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper