Bisnis.com, JAKARTA - Entah bagaimana perasaan Waskito, saat lahan yang diperjuangkan dalam setahun terakhir ternyata sudah dilepas haknya pada perusahaan lain. Informasi yang diperolehnya karut-marut sampai-sampai kejelasan status lahan itu pun baru diketahuinya dua bulan terakhir.
Waskito menjabat sebagai staf ahli bidang peternakan di PT Sulung Ranch, salah satu perusahaan domestik yang bergerak di bidang peternakan. Saat ini, perusahaan menugaskan dia untuk mencari lahan seluas 65.000 hektare untuk peternakan sapi model silvopastura (integrasi sapi-hutan).
Lahan seluas 65.000 hektare tersebut nantinya akan digunakan PT Prima Nusantara Abadi Kobar, bisa dikatakan merupakan anak usaha PT Sulung, untuk memasukkan 30.000 sapi indukan dan 3000 sapi jantan dari Australia.
Waskito dan timnya telah bolak-balik mengunjungi lahan yang hendak bidik sejak 2014, yaitu di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dia bahkan sudah mengajak investor dari Australia yang bekerja sama dengan perusahaan untuk melihat lahan tersebut.
“Kami berencana memasukkan 30.000 ekor indukan dan 1 banding 10 [1:10] untuk jantannya, itu sekitar 3.000 ekor. Kalau pihak Australia itu bahkan sudah kami ajak melihat lapangan dan mereka setuju sekali dengan lahan itu,” kata Waskito, merujuk pada lahan 65.000 hektare di Kotawaringin Barat.
Selama setahun terakhir, dia fokus menjajaki lahan itu. Namun, pada bulan lalu, setelah diperiksa lebih lanjut, lahan tersebut ternyata sudah diserahkan pada perusahaan lain sebagai hutan tanaman industri (HTI) sejak 2007, tetapi tak kunjung digarap hingga saat ini.
Waskito dan perusahaannya mungkin hanyalah segelintir dari banyaknya investor yang harus menempuh jalan berbelit untuk mendapatkan lahan untuk investasi. Waskito adalah cerminan bagaimana negara yang mengaku ingin memberikan ‘karpet merah’ dalam memperlakukan para pemodalnya. Padahal, Bisnis.com ingat saat Menkeu Bambang Brodjonegoro berkunjung ke kantor redaksi Bisnis Indonesia beberapa pekan setelah dia menjadi menteri.
Dia menuturkan pertumbuhan tahun ini akan bertopang pada investasi karena unsur pertumbuhan lain mandeg.
Bukan rahasia lagi, persoalan investasi pada sektor pertanian kerap berhenti saat menghadapi persoalan lahan. Lihat saja upaya Menteri Pertanian dalam 10 tahun terakhir yang meng-inginkan pembangunan pabrik gula terintegrasi dimulai. Sampai sekarang, lahan tak kunjung ditemukan.
Beberapa waktu lalu, selepas menggelar pertemuan dengan para investor gula, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, pihaknya akan ‘menggunduli’ seluruh regulasi yang sifatnya menghambat, terutama soal ketersediaan lahan.
“Yang menghambat itu akan kita gunduli, kita buka lebar jalan yang mau serius berinvetasi. Mereka [investor] harus difasilitasi,” katanya. Amran ingin pembangunan pabrik gula yang diwacanakan sepuluh tahun terakhir dapat segera terwujud.
Staf Ahli Menteri Pertanian bidang investasi Syukur Iwantoro mengaku timnya mendeteksi sejumlah peraturan belum ditegakkan di lapangan. Tak sedikit pula regulasi yang bertentangan dengan komitmen ‘karpet merah’ tadi.
“Tim kami meyakini agar investor itu makin banyak, persoalan lahan harus kita bantu. Lahan adalah masalah fundamentalnya. Padahal kita harusnya tidak mengeluh soal lahan karena lahan kita subur sekali untuk berbagai jenis tanaman pertanian,” jelas Syukur.
Syukur menegaskan persoalan lahan pada tiga kelompok besar. Pertama, luasnya tanah terlantar atau yang sudah diberikan haknya pada pihak tertentu, tetapi tidak kunjung digunakan. Kedua, luasnya tanah ulayat yang membutuhkan pendekatan intensif. Ketiga, tingginya harga pola pinjam pakai yang ditetapkan.
LAHAN TERLANTAR
Yang terjadi pada Waskito adalah mereka ternyata menjajaki tanah yang sudah dimiliki status haknya oleh sebuah perusahaan sejak 2007. Namun, lahan itu tidak terdeteksi karena tanah tersebut terlalu lama tidak digunakan secara produktif.
Tanah yang tidak digunakan setelah status haknya dilepas negara, diatur dalam PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Objek yang dapat ditertibkan yaitu Tanah yang Diberikan Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
Dalam pasal 4 beleid tersebut disebutkan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus segera memeriksa data tanah yang terindikasi terlantar. Salah satu indikatornya yang disebutkan pada pasal 6 yaitu tanah tersebut telah diberikan statusnya selama tiga tahun namun tak kunjung digunakan.
Pada akhir pekan lalu, Menteri Agraria dan tata Ruang Ferry Mursyidan Bardan menyampaikan sebenarnya potensi tanah terlantar cukup banyak. Untuk itu, di masa kepemimpinannya, dia berkomitmen melakukan penertiban secara masif.
“Saya dorong teman-teman Kanwil [BPN] untuk proaktif menemukan tanah yang terlantar. jangan nanti statusnya sudah diberikan pada si A, Si A ternyata tidak menggunakan, tapi si B dan si C tidak dapat menggunakan,” jelas Ferry kepada Bisnis.com.
Ferry mengatakan Kepala Kanwil BPN seharusnya memang melakukan evaluasi tiga tahun sejak status tanah diberikan pada perusahaan seperti yang tercantum pada PP No 11/2010.
Dia menjelaskan, evaluasi harus dilakukan untuk dapat mengetahui apakah setelah hak diberikan, berapa luasan tanah yang sudah digunakan. “Kalau hak tanah yang diberikan itu 10 hektare tapi yang digunakan 4 hektare, maka 6 hektarenya harus kami ambil. Sehingga investor lain bisa gunakan,” kata Ferry.
Jika ditilik pada ayat 6 pasal 8 PP No 11/2010, kendati hak tanah didapat setelah persetujuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), pencabutan hak atas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala BPN.
Dari informasi yang dihimpun Tim Percepatan Upsus Investasi Pertanian, Syukur mengatakan letak tanah yang diduga terlantar cukup luas, tersebar di NTT, NTB, Kalimantan, dan Sulawesi. “Regulasinya itu harus ditegakkan.”
Jika ada potensi besar dari lahan terlantar, maka pemerintah perlu mendeteksi dan membebaskannya agar investor lain dapat memanfaatkan tanah tersebut.
PINJAM PAKAI
Tak hanya terbentur pada persoalan tanah terlantar, terhambatnya investasi baru di sektor pertanian yang berorientasi lahan juga ditengarai dialami oleh perusahaan yang ‘ditawarkan’ untuk menggunakan lahan dengan status izin pinjam pakai.
Syukur mengatakan pemerintah memang menyediakan alternatif untuk menggunakan lahan dengan izin pinjam pakai. Namun, alternatif itu memiliki kekurangan yang membuat investor mundur teratur.
“Memang ada istilahnya itu pola pinjam pakai tapi yang model seperti ini banyak dimanfaatkan oleh sektor pertambangan karena biaya yang dikeluarkan cukup besar. Kalau digunakan untuk investasi pertanian itu terlalu besar.”
Perihal penetapan biaya yang harus dikeluarkan untuk pola pinjam pakai diatur dalam PP No. 33/2014. Dalam lampiran beleid tersebut, disebutkan biaya penggunaan lahan untuk hutan lindung yaitu Rp2 juta per ha per tahun, sedangkan untuk hutan produksi Rp1,6 juta per ha per tahun.
Syukur menjelaskan pola pinjam pakai sebagian besar digunakan untuk sektor pertambangan karena profit yang mereka dapatkan dapat segera menutupi biaya operasional dan lahan yang digunakan pun tak seluas lahan yang dibutuhkan untuk perkebunan atau peternakan.
Menurut Syukur, untuk pembangunan pabrik gula terintegrasi dengan kapasitas 10.000 ton per hari, investor membutuhkan lahan sedikitnya 20.000 ha. Untuk peternakan sapi yang sesuai, investor membutuhkan lahan minimal 10.000.
Menurut Syukur, aturan pola pinjam pakai seharusnya tidak menyamakan biaya yang dikeluarkan antara sektor pertambangan dan sektor pertanian. Apalagi, investasi pertanian sifatnya tidak mengubah karakter tanah.
Padahal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mendorong investasi sektor pertanian. Namun, pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan gulungan ‘karpet merah’. []