Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Alat Berat Indonesia menyatakan produksi pada kuartal II/2015 melanjutkan tren penurunan dari periode sebelumnya dengan membukukan 958 unit dari 1.298 unit pada kuartal I/2015.
Jamaludin, Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), mengatakan lemahnya penjualan pada semester I yang hanya mencapai 2.256 unit akibat belum menggeliatnya sektor pertambangan seiring harga komoditas yang kian terpuruk serta proyek infrastruktur yang belum dimulai secara penuh.
"Praktis industri alat berat saat ini hanya mengharapkan realisasi proyek infrastruktur dari pemerintah. Untuk mengisi kekosongan produksi, sejumlah perusahaan hanya melakukan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja," ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (30/7/2015).
Komatsu Indonesia, misalnya, atas jalinan kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) mengirimkan sejumlah tenaga kerja ke Jepang. Strategi ini dilakukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia ketika lonjakan produksi terjadi.
Untuk mempertahankan produksi tak turun terlampau jauh, lanjutnya, produsen juga menyesuaikan fungsi produk dengan kebutuhan konsumen. Modifikasi produk sesuai dengan keinginan konsumen cara terakhir mempertahankan penjualan.
Tekanan kepada industri alat berat semakin meningkat seiring dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sejumlah konsumen menahan pembelian untuk menghindari rugi kurs. Selain itu, kewajiban transaksi rupiah di dalam negeri belum ditunjang dengan sistem yang baik.
Tak hanya produsen alat berat yang mengalami tekanan penjualan, ujarnya, perusahaan penyewaan alat berat juga mengalami hal yang sama. Daya beli unit baru yang semakin tertekan serta sedikitnya penggunaan alat sewa, menyebabkan perusahaan penyewaan alat melakukan perang harga.
Melihat kondisi pasar sepanjang semester I, industri alat berat optimistis produksi pada tahun ini tidak akan mencapai jumlah tahun lalu yang mencapai 5.172 unit. "Padahal, target awal tahun ditetapkan 6.000 unit seiring dengan prediksi pembangunan infrastruktur," katanya.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya penjualan didominasi oleh proyek pertambangan, pada tahun ini produsen mengharapkan ada pergeseran kepada proyek infrastruktur, forestry,dan agriculture. Tahun ini proyek infrastruktur diprediksi menyerap penjualan 40% dari total produksi.
Kendati mengalami penurunan produksi, lanjutnya, pelaku industri alat berat yang menyerap tenaga kerja mencapai 40.000 orang telah bersepakat untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja. Selain itu, produsen besar tetap berkomitmen berproduksi di Indonesia tanpa relokasi ke Thailand.
Bahkan lanjutnya, guna menunjang pembangunan infrastruktur Indonesia, pada tahun ini produsen dalam negeri memulai pembuatan alat berat jenis motor grader. Oleh karena itu, alat berat khusus konstruksi ini akan direkomendasikan dihapus dari daftar izin impor alat berat bekas.
Jika impor alat berat bekas terus diperbolehkan, industri dalam negeri akan semakin tertekan. Selain itu, ditengah penurunan produksi ini seharusnya pemerintah melakukan perbaikan sistem, misalnya skema bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP). "Jika kondisi ini terus berlangsung, kami hanya bisa bilang banyak-banyak berdoa," katanya.