Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kewajiban Transaksi Pakai Rupiah, Margin Industri Mamin Terancam Tergerus

Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, mengatakan kewajiban menggunakan rupiah untuk transaksi di dalam negeri di tengah fluktuasi nilai tukar menggerus margin keuntungan industri.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com,JAKARTA--Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, mengatakan kewajiban menggunakan rupiah untuk transaksi di dalam negeri di tengah fluktuasi nilai tukar menggerus margin keuntungan industri.

Menurutnya, pemasok bahan baku industri mamin yang masih impor saat ini menetapkan US$1 setara dengan Rp14.000. Selisih kurs ditetapkan guna meminimalisir rugi kurs yang dialami pemasok karena mengimpor dengan dolar, tetapu menjual barang dalam rupiah.

"Tidak ada pemasok yang berani mematok US$1 dengan kurs saat ini sekitar Rp13.300. Mereka takut rugi. Karena ketakutan ini menjadikan harga bahan baku menjadi tinggi, tidak sampai merugikan, tetapi menggerus margin," katanya, Selasa (30/6/2015).

Dalam hal ini, dibutuhkan nilai tukar rupiah yang stabil terhadap dolar untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Saat ini sejumlah bahan baku yang masih impor 100% seperti raw sugar,gandum, flavor, konsentrat dan banyak lagi yang lainnya.

"Yang aneh saat ini, pembayaran gas ke PGN masih dalam dolar," ujarnya.

Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Umum Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas), mengatakan wajib rupiah berlaku dalam transaksi antara industri plastik hulu dengan hilir.

"Industri hulu beli bahan baku dengan dollar, sementara industri hilir membelinya dengan rupiah. Dalam hal ini gejolak nilai tukar diantisipasi oleh industri hulu dengan mengonversi nilai tukar sedikit lebih tinggi dari kurs saat transaksi," katanya.

Selain itu, transaksi antara industri hulu dan hilir dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Misalnya, transaksi dilakukan pada hari yang sama. Selain itu penjualan dengan skema kontrak antara industri hilir dengan konsumen juga dilakukan dalam kontrak pendek.

Menurutnya, konversi nilai tukar yang lebih tinggi dari harga pasar akibat kekhawatiran industri menghadapi fluktuasi rupiah menyebabkan harga jual produk hilir naik.

Kendati demikian, sejauh ini belum ada industri hulu ataupun hilir yang mengalami kerugian akibat transaksi wajib rupiah, karena penjualan dalam empat bulan terakhir tengah lesu. Bahkan penurunan harga bahan baku nafta dan propilena yang menjadi US$800 per ton dari tahun lalu senilai US$1.200 per ton kurang dimanfaatkan oleh produsen.

"Hulu rentan karena margin tipis. Sementara hilir diuntungkan karena tidak perlu membeli dolar terlebih dahulu, sehingga transaksi dapat dilakukan dalam waktu yang cukup cepat," terangnya.

Saat ini, dari kebutuhan bahan baku plastik di Indonesia yang mencapai 4,3 juta ton per tahun, industri dalam negeri hanya mampu memasok 2,2 juta ton2,5 juta ton. Dengan demikian, kekurangan pasokan disediakan dari impor.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper