Bisnis.com, SURABAYA—Para eksportir di Jawa Timur khawatir usaha mereka justru merugi akibat mandatori penggunaan rupiah di wilayah NKRI, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.17/2015.
Pasalnya, para pengusaha khawatir peraturan tersebut justru akan membuat ongkos terminal (terminal handling charges/THC) membengkak. Apalagi, perbedaan antara nilai tukar rupiah dan dolar Amerika Serikat saat ini terpaut cukup jauh.
"Kewajiban penggunaan rupiah ini memberatkan eksportir dan importir, baik untuk keperluan membeli bahan baku maupun membayar biaya lain,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan, Minggu (28/6/2015).
Dia menjelaskan dalam biaya THC ocean freight bongkar muat terdapat selisih nilai jual dan beli untuk kurs dolar AS yang cukup lebar. Dalam situasi normal, lanjutnya, selisih hanya mencapai Rp25-Rp100/dolar AS.
Namun, saat ini selisih ongkos pelabuhan jika menggunakan rupiah dapat mencapai Rp100-Rp250/dolar AS. Dengan demikian, kata Isdarmawan, saat ini para eksportir dan importir harus membayar dengan kurs Rp14.000-Rp15.000/dolar AS ke pihak pelayaran.
“Beda kursnya bisa sampai Rp600-Rp1.600. Menurut acuan BI, saat ini nilai jual dolar Rp13.271 dan beli Rp13.405, selisih Rp134. Sementara itu, biaya kargo untuk ekspor dan impor di [Pelabuhan] Tanjung Perak adalah Rp1,2 juta/kontainer,” jabarnya.
Prediksi kenaikan ongkos pelabuhan tersebut dikhawatirkan berbanding lurus dengan makin lemahnya kinerja ekspor. Atas pertimbangan tersebut, bank sentral didesak membuat kebijakan khusus agar mereka tetap dapat menigkatkan volume ekspor.
"iIndustri saat ini sedang mengalami penurunan omzet 15%-30%. Maka BI wajib menetapkan kurs tetap, serta harus ada insentif dan stimulus bagi pelaku usaha ekspor impor,” tegasnya.
Di lain pihak, Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Jatim Syafii berpendapat jika semua jenjang aktivitas ekspor impor bertransaksi dengan rupiah, maka nilai mata uang Garuda akan terapresiasi dengan sendirinya.
Dia berpendapat selama ini pengguna jasa pelabuhan masih bertransaksi dengan dolar, sehingga permintaan akan mata uang Negeri Paman Sam itu meningkat dan nilainya pun menguat.
“Ini sebenarnya upaya kami untuk membuat nilai rupiah stabil. Dengan sendirinya, jika permintaan dan kebutuhan akan rupiah naik, nilainya pun akan menguat. Masalah implementasinya, itu hanya soal kebiasaan saja. Pengusaha kita belum terbiasa.”
Berdasarkan PBI yang berlaku per 1 Juli 2015 itu, pelanggar kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi tunai, akan dikenakan sanksi pidana dengan hukuman kurung maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp200 juta, sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.
Sementara itu, pelanggar untuk transaksi nontunai dikenai teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar 1% dari nilai transaksi dan/atau maksimal Rp1 miliar, serta larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran.