Bisnis.com, TOKYO -- Asia, tak dapat dipungkiri, adalah kawasan yang memiliki keragaman ekonomi, sosial-budaya, dan sistem politik relatif tinggi di dunia. Karena itu, kawasan yang dihuni lebih dari separuh penduduk dunia ini tidak steril dari potensi konflik.
Kendati bangsa-bangsa di Asia memiliki keragaman yang tinggi, toh tujuan bernegara memiliki kesamaan: hidup sejahtera di dunia yang damai dan stabil.
"Sebagai orang yang berasal dari negara yang sangat beragam, saya paham bahwa keragaman adalah peluang besar sepanjang dapat menciptakan tujuan bersama dan membangun budaya kerja sama," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Wapres Jusuf Kalla menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara khusus dalam pertemuan 21st International Conference on The Future of Asia di Tokyo, Kamis (21/5/2015).
Dalam acara tahunan yang digelar koran bisnis Nikkei itu, selain Jusuf Kalla tak kurang 9 pemimpin dan mantan pemimpin negara serta pejabat pemerintahan dari Asia dihadirkan menjadi pembicara.
Mereka antara lain Presiden Mongolia Tsakhia Elbegdorj, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, mantan PM Singapura Goh Chok Tong dan Wakil PM Thailand Pridiyathorn Devakula.
Juga diundang Deputi PM Vietnam Vu Van Ninh, Menteri Keuangan Filipina Cesar V. Purisima, Minister for President Office Myanmar Soe Thane, Menteri Perdagangan Kamboja Sun Chanthol, Menteri Keuangan India Jayant Sinha serta Sekjen Asean Le Luong Minh.
Topik konferensi tahun ini adalah tantangan integrasi ekonomi menyusul berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean akhir tahun ini. Karenanya forum ini membahas tugas yang dihadapi negara-negara Asia Pasifik guna mewujudkan kawasan yang damai dan sejahtera.
Selain memberikan Special Speech pada konferensi tersebut, Wapres JK dalam kunjungan ke Tokyo akan bertemu dengan Perdana Menteri Shinzo Abe di sela-sela Conference Dinner.
Pertemuan singkat itu menyinggung soal peluang pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya dan hubungan bilateral Indonesia-Jepang.
Budaya Kolaborasi
Menurut JK, panggilan akrab Wapres Jusuf Kalla, masa depan dunia kini terletak di Asia, khususnya Asia Timur, meskipun selalu dibayangi tensi geopolitik.
"Budaya kolaborasi mampu mencegah terjadinya friksi yang memicu instabilitas. Hasilnya, Asia Timur berkembang menjadi kawasan paling dinamis dalam lima dekade terakhir," papar JK.
Salah satu contoh kolaborasi adalah Selat Malaka. Wapres mengemukakan, selama lebih dari lima dekade terakhir Indonesia, Malaysia dan Singapura mampu menjaga keamanan Selat Malaka. "Komitmen itu adalah keputusan terbaik yang pernah dibuat tiga negara ini," katanya.
Saat ini, jelasnya, Selat Malaka menjadi salah satu selat tersibuk di dunia dengan sekitar 100.000 kapal melewati selat itu setiap tahun, mengangkut sekitar seperempat barang yang diperdagangkan dunia. Selat Malaka telah menjadi urat nadi bagi perekonomian regional, dan penting bagi perekonomian Asia Tenggara dan sekitarnya termasuk China, India, Jepang dan Korea Selatan.
Dalam konteks itu, JK melihat, konflik Laut China Selatan menjadi tantangan geopolitik saat ini. Karena itu, ia berharap negara-negara yang terlibat sengketa Laut China Selatan dapat mencari solusi damai.
Budaya kolaborasi ini juga diharapkan hadir dalam mengatasi tantangan geo-ekonomi. Dijelaskan, Asia Timur menghadapi tiga tantangan utama yakni pelambatan ekonomi global, ketimpangan pendapatan dan gejolak (volatilitas) ekonomi. "Semua masalah itu tidak dapat diatasi secara individual. Kolaborasi adalah rute yang harus diambil," kata JK.
Bangsa-bangsa Asia Timur, lanjutnya, juga perlu memperbanyak sumber permodalan untuk membiayai investasi dan mencegah mismatch pasok dan permintaan. Menurut dia, peranan institusi seperti Bank Dunia dan ADB masih jauh dari cukup, sehingga rencana pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) merupakan terobosan yang patut didukung. "Namun secara paralel, kita perlu meningkatkan kerjasama keuangan bilateral di antara bangsa-bangsa," tegasnya.
AIIB diperlukan, katanya, mengingat kebutuhan infrastruktur di Asia saat ini jauh lebih besar termasuk Indonesia, melampaui kemampuan negara-negara di Asia sendiri dalam membiayainya.
"Makin banyak sumber untuk membiayai pembangunan infrastruktur jangka panjang bagi Asia dan Indonesia, [akan] makin baik," tegasnya.
Dalam joint interview dengan media massa Jepang usai menyampaikan speech, Jusuf Kalla kembali menegaskan implementasi Masyarakat Ekonomi Asean, yang akan memperluas pasar, memperkuat industri dan perdagangan.
Idealnya, menurut Wapres, MEA dapat meningkatkan hubungan perdagangan dan memacu produksi yang lebih efisien. "Diharapkan juga dapat meningkatkan kemampuan yang berbeda dari negara-negara Asean, sekaligus menciptakan Asean yang lebih stabil dan berkembang," tuturnya.
Tentang Indonesia
Tentang Indonesia sendiri, Pak JK mengatakan Indonesia menyadari posisi strategis di antara dua samudera, India dan Pasifik, sehingga bertekad menjadi poros maritim dunia.
Perekonomian maritim juga didorong dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan, industri perkapalan, dan wisata maritim, selain melakukan "diplomasi maritim" dengan kerjasama bilateral mengatasi konflik yang meningkat sejalan dengan upaya memberantas ilegal fishing.
Tak kalah penting, kata JK, adalah meningkatkan kemampuan pertahanan di sektor kelautan. Upaya membangun kemampuan pertahanan maritim itu dimaksudkan untuk menjaga kelancaran hubungan antarpulau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan untuk membangun kekuatan ofensif.
Tujuannya antara lain untuk mencegah illegal fishing. "Ini untuk menjaga kepentingan ekonomi," tuturnya.
Wapres JK juga menjelaskan upaya transformasi ekonomi Indonesia dari basis sumberdaya alam menuju ekonomi berbasis nilai tambah. Caranya dengan mengubah karakteristik dari eksportir sumberdaya alam menjadi eksportir produk akhir.
Karena itu, pemerintah terus melakukan perbaikan infrastruktur untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, guna menekan biaya logistik yang saat ini sekitar 24% dari PDB.
Dalam kaitan itu, Wapres mengungkapkan rencana membangun kereta cepat, MRT modern, seaport, airport dan jalan tol di kepulauan utama Indonesia, selain membangun pembangkit listrik secara besar-besaran.
Selaku negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Wapres mengingatkan investor tidak perlu khawatir terhadap dinamika politik di Indonesia. Kebebasan berekspresi adalah tanda bahwa demokrasi bekerja. Hal itu memungkinkan krisis kecil terjadi secara reguler untuk mencegah munculnya krisis besar, jelasnya.
"Secara politik, hal itu kondusif bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan," tandasnya.