Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seribu Langgar Sejuta Bara (II): Satu Ladang Beda Ilalang

Sejarah Banjar juga diwarnai perebutan kekuasaan karena sumber-sumber ekonomi. Di antaranya, soal lada dan intan.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari. Masalahnya, perbedaan di terlalu kentara. /istimewa
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari. Masalahnya, perbedaan di terlalu kentara. /istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Saya pun menelusuri sejumlah sumber mengenai sejarah Islam di Kalimantan Selatan. Mulai dari jurnal ilmiah, ringkasan riset hingga kertas posisi.

Di antara keterangan berharga itu bersumber dari Curtin University, Perth, Australia, Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin, UIN  Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan UIN Sunan Ampel, Surabaya. Dari analisis Azyumadi Azra, Ian Chalmers, hingga Mujiburrahman.

Ini untuk mengerti bagaimana  sejarah  berkembangnya Islam berikut penafsirannya. Kalimantan Selatan sendiri memiliki penduduk sekitar 4 juta jiwa dengan mayoritas muslim.

Masuknya Islam di Kalimantan Selatan, tak terlepas dari gejolak politik dalam kerajaan. Pada abad XVI,  Sultan Suriansyah—awalnya bernama Pangeran Samudera—bersedia memeluk Islam setelah memperoleh bantuan pasukan kerajaan Demak, Jawa Tengah, untuk menggulingkan kekuasaan pamannya sendiri, Pangeran Tumenggung. Pengaruh Hindu lebih dahulu menyebar dan demikian kuat dalam tradisi kerajaan Banjar.

Walaupun demikian, Islam dari Timur Tengah—terutama sufisme, pun sudah menjalar melalui Sumatra dan Jawa, hingga perlahan memasuki Kalimantan.

Usai bantuan dari Demak, Islam pun disebarkan secara formal ke dalam kalangan elit kerajaan, penerus Sultan Suriansyah. Sejarah Banjar, juga diwarnai perebutan kekuasaan karena sumber-sumber ekonomi. Di antaranya, soal lada dan intan.

Ketika satu abad berganti, para ulama di Kalimantan Selatan marak berdatangan ke Haramain—Mekah dan Medinah—untuk mendalami Islam.

Salah satu ulama yang disokong pendidikannya dan berpengaruh luas hingga kini, adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang hidup pada 1710—1812.

Al Banjari  adalah orang yang sejak dini mendapat bantuan besar dari kerajaan. Ketika anak-anak, dia  diangkat anak oleh Sultan Hamidullah dan mendapatkan pendidikan dalam lingkungan kerajaan. Setelah berusia 30 tahun, dia pun dikirim ke Haramain untuk mendalami Islam selama  35 tahun.

Pada 1772, Al Banjari kembali ke kampung halamannya di Martapura, yang kini berlokasi di Kabupaten Banjar. Dia punya dua misi: membersihkan tradisi Hindu yang melekat pada masyarakat, sekaligus menekan praktik sufisme yang lebih dahulu berkembang di Kalimantan Selatan. Salah satu karya Al Banjari yang mengulas persoalan tersebut—hal-hal yang merusak keimanan— adalah kitab Tuhfat al Raghibin.

Kitab itu mengkritik tradisi Hindu, sebelum Islam—yang  diformalkan Sultan Suriansyah— masuk ke Kalimantan Selatan. Mereka di antaranya adalah manyanggar, yakni sesajen agar para roh jahat tidak mengganggu, serta mambuang pasilih, yakni upacara untuk menghilangkan bencana pada keluarga. Sedangkan untuk praktik sufisme, Al Banjari menekan Wujudiyah —aliran yang mempelajari kemanunggalan Tuhan dan hambanya—yang disebarkan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari.

Syek Muhammad Nafis, penyokong Wujudiyah di Kalimantan Selatan, sebenarnya juga lulusan Haramain, namun kembali lebih awal dari Al Banjari. Kala itu, sufisme lebih dahulu populer di Timur Tengah, walaupun praktiknya dilarang pemerintah.

Al Banjari sendiri sebenarnya mempelajari sufisme dari Syekh Samman Al Madani—dan akhirnya dikenal dengan Sammaniyah. Masalahnya, perbedaan Nafis dan Al Banjari terlalu kentara: Al Banjari mendapat sokongan politik dari kerajaan setelah dia kembali.

Sementara sufisme, secara perlahan mulai terkikis. Kitab Al Banjari yang lebih populer—akhirnya dijadikan nama mesjid raya di Banjarmasin sejak 1981—adalah Sabil al Muhtadin, berisi ulasan soal syariat.

“Kitab Tuhfat al Raghibin merupakan teologi  dengan metode imani dan pembelaan. Metode imani cenderung teosentris, mengagung-agungkan Tuhan dan manusia takluk total,” tulis Mujiburrahman, peneliti soal Islam di Kalimantan Selatan dari UIN Antasari dalam artikelnya pada 2010. “Pada gilirannya, cenderung tunduk  dan membela kepentingan penguasa.” []

BACA JUGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper