Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seribu Langgar Sejuta Bara (IV): Raksasa Kapital

Pemerintah menargetkan produksi batu bara kira-kira mencapai 460 juta ton tahun ini, meningkat dari 400 juta ton pada 2014. Indonesia juga adalah pemain besar dari penghasil batu bara global dengan komposisi mencapai 70% produksi untuk ekspor.
Raksasa Kapital. /Bloomberg
Raksasa Kapital. /Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Saya mewawancarai Syarbani Haira untuk mengetahui bagaimana sikap kelompok Islam di Kalimantan Selatan soal daya rusak batu bara. Dia mengatakan pangkal keributan selama ini adalah soal  keimanan dan syariat, bukan kerusakan lingkungan.

Menurutnya, kelompok-kelompok pengajian tradisional  hampir tak pernah membahas tentang lingkungan karena soal pengetahuan. Masalah lainnya: hubungan ulama, pemerintah dan bisnis yang semakin lama, semakin mesra.

“Ada yang diberangkatkan haji setiap tahun. Mereka juga dikasih amplop ketika menghadiri acara salat Hajat,” katanya lagi. “Jadi tak ada gerakan dakwah yang sistematis dari ulama. Percuma orang salat, tapi  tetap membiarkan kerusakan lingkungan.”

Semasa duduk di bangku SMA di Banjarmasin yakni pada 1993—1996, seingat saya hampir tak pernah mendengar  pengajian yang membahas tentang daya rusak batu bara. Materinya kerapkali berulang. Dari soal menebalkan iman dan cara beribadah.  Saya kira, tradisi turun-temurun klaim kebenaran soal syariat dan tauhid, turut mempengaruhi tradisi berdakwah.

Dan tentu saja, batu bara bukan soal yang sederhana.

Pemerintah menargetkan produksi batu bara kira-kira mencapai 460 juta ton tahun ini, meningkat dari 400 juta ton pada 2014. Indonesia juga adalah pemain besar dari penghasil batu bara global dengan komposisi mencapai 70% produksi untuk ekspor. Berdasarkan data organisasi Bank Track, posisi Indonesia di bawah urutan lima negara lainnya, yakni China, Amerika Serikat, India, Rusia/Kazakhstan dan Australia.

Sementara World Watch Institute mencatat, pertumbuhan konsumsi global batu bara pun meningkat 3% pada 2013 menjadi 3.800 juta ton. Negara-negara pengimpor batu sendiri terbentang dari Asia hingga Eropa. China, Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, Jerman hingga Inggris.

“Perusahaan batu bara bisa menghajikan tuan guru, mengumrahkan kyai,” kata Ahmad Khairuddin, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah, Kalimantan Selatan. “Ini sangat jelas, siapa saja yang dapat.”

Khairuddin menuturkan masalah batu bara erat kaitannya dengan ketidakadilan. Pembangunan mesjid, langgar hingga pesantren oleh perusahaan, katanya, tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan korporasi. Persoalan agama, demikian Khairuddin, tak sekadar soal halal dan haram, melainkan juga perbaikan lingkungan. Muhammadiyah, berkomitmen akan menyerukan masalah tersebut pada setiap khotbah salat Jumat.  Dia mengakui fikih lingkungan sifatnya lebih elitis—tak macam materi agama lainnya.

Masalahnya, orang-orang Banjar tak hanya berhadapan dengan politik regional, namun juga kapital raksasa global.

Laporan  Bank Track pada masing-masing akhir 2013—2014 menyebutkan sedikitnya 12 lembaga keuangan internasional, turut mendanai aktivitas pertambangan komoditas tersebut di Indonesia. Pada periode 2011—2013, Standard Chartered menggelontorkan uang paling besar di antara 12 lembaga finansial itu, yakni mencapai 1,15 miliar Euro. Bentuknya adalah pinjaman maupun penjaminan surat utang. Lainnya adalah ANZ, UBS, Bank Mandiri, Mitsubishi UFJ, JPMorgan Chase, Bank of China, China Development Bank, Citi, HSBC, Sumitomo Mitsui dan Bank of America. Secara umum, dana yang dikucurkan kesebelasnya adalah di bawah 375 juta Euro—tertinggal jauh dengan capaian Standard Chartered.

Riset itu juga menunjukkan sedikitnya terdapat 20 bank internasional yang menggelontorkan uangnya untuk pertambangan batu bara global selama 2005—2014. Terbesar, berasal dari JPMorgan Chase yakni mencapai 21,52 miliar Euro. Sedangkan posisi buncit diduduki oleh Credit Agricole, 7,15 miliar Euro. Bank Track juga mencatat tren meningkatnya pembiayaan empat bank asal China dalam pendanaan tersebut: China Construction Bank, Industrial Commercial Bank of China, Bank of China dan Agricultural Bank of China.

Saya mulai memahami bagaimana industri batu bara mulai dikembangkan saat Presiden Soeharto berkuasa, tepatnya pada 1981.

Satu riset  UIN Antasari pada 2012 menjelaskan, terdapat tiga perusahaan generasi pertama yang diberikan konsesi. Mereka adalah PT Adaro, PT Arutmin dan PT Chong Hua OMD dengan area sekitar 230.000 hektar. Masing-masing berada di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong; Kabupaten Kota Baru; dan Kabupaten Banjar.   Pada 1993 dan 1996, Soeharto memberikan masing-masing izin kembali kepada lima perusahaan dan 11 perusahaan, melalui Keputusan Presiden.  Semuanya adalah kontrak generasi kedua dan ketiga.

“Modal dan kekuasaan menjadi kekuatan yang besar,” kata Chalid Muhammad, Ketua Serikat Hijau Indonesia pada Desember.  “Siapa yang melawan Soeharto, pasti dicap anti pembangunan.”

Chalid punya latar belakang tinggal di Banjarmasin selama 1990—1994. Saat itu, dia aktif menjadi aktivis lingkungan sekaligus pengajar di sekolah tinggi ilmu hukum. Dia mengatakan perlawanan terhadap daya rusak batu bara sebenarnya bermunculan, namun tak cukup bikin gentar para perusahaan. Setelah rezim otonomi daerah,  kekuatan politik dan modal bertambah besar dengan hadirnya gerombolan preman lokal.

“Mengapa kekuatan kelompok Islam, sebagai mayoritas, tak bisa hentikan daya rusak batu bara?” tanya saya.

“Perlawanan mereka ada, namun belum sebanding dengan daya rusak yang terjadi,” jawab Chalid. “Gerakan lingkungan hidup harus masuk ke kelompok-kelompok keagamaan.”

Saya ingat aksi gabungan oleh elemen masyarakat dan mahasiswa dalam upaya melawan daya rusak batu bara pada 3 tahun lalu. Mereka memblokade kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara sebagai aksi protes ketidakadilan energi antara Kalimantan dan Jawa. Tetapi sayangnya, aksi serupa tak lagi terdengar. Tak ada pengaruh besar pula sesudahnya.

Saya kira, minimnya kritik para pemuka agama juga dipengaruhi sejarah manis mereka dengan kekuasaan. Human Rights Watch dalam risetnya soal kebebasan berkeyakinan, misalnya, menyebutkan pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 bertujuan untuk menjembatani para pemuka agama dan negara. Saya sadar, sejak masa Al Banjari, hubungan politik dan otoritas agama cenderung tak pernah berubah.

“Untuk penegakan hukum, Kalimantan Selatan adalah yang terberat,” ujar Ketua Asosiasi Perusahaan Batu bara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala, pada saya Januari lalu. “Haji-haji juga itu sudah menjadi raja kecil.”

Supriatna menyatakan  ketika otonomi daerah diberlakukan pasca 2000, izin pertambangan menjadi tak tertata.

Ada kekuasaan lokal yang mendapatkan keuntungan. Pengawasan pemerintah pun tak maksimal, terutama untuk para penambang liar.  Penambangan model tersebut,  katanya, adalah yang tak mau membayar pajak dan tertib soal lingkungan. Ini berbeda dengan perusahaan asing yang memiliki izin kontrak karya. Perusahaan multinasional, papar Supriatna,  jauh lebih patuh pada kewajiban finansial maupun lingkungan. Masalahnya, pasar bagi batu bara ilegal tetap tercipta. Ada yang menjadi pemasok sekaligus penadah.

“Para haji itu tengah berebut kavling untuk perluasan konsesi, selain jalur distribusi kapal pengangkut,” kata Ali al Habsyi, penganut Syiah sekaligus pendiri Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Kalimantan Selatan, Maret. “Namun, semangat perlawanan terhadap para tiran tidak muncul.”

“Apa ulama  tak tahu atau tak mau sadar soal batu bara?” tanya saya.

“Mereka tahu, tapi tak memiliki keberanian,” jawab Ali. “Ulama lebih memilih berkonspirasi dengan kekuasaan dan modal, dibandingkan mengurus soal lingkungan. Ini tak ada duitnya.”

BACA JUGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper