Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seribu Langgar Sejuta Bara (III): Hubungan Gelap Ulama dan Penguasa

Sejumlah penelitian menyebutkan, Abulung kemudian dieksekusi mati atas perintah Sultan Tahmidillah, berdasarkan pertimbangan Al Banjari.
Padahal kewajiban terhadap Tuhan, setara dengan menjaga lingkungan. /Adaro.com
Padahal kewajiban terhadap Tuhan, setara dengan menjaga lingkungan. /Adaro.com

Bisnis.com, JAKARTA - Sokongan Penguasa terhadap Al Banjari memang terus mengalir. Posisi penasihat—mufti, yang diembannya hingga 40 tahun—diperolehnya dari Sultan Tahmidullah atau yang bergelar Sunan Kuning saat itu.

Pertimbangan Al Banjari, akan menjadi hukum yang berlaku kemudian. Ini termasuk pelarangan Wujudiyah yang  dianggap sesat— bertentangan dengan pehamanan yang dipelajarinya selama tinggal di Haramain. Salah satu penyokong lainnya adalah Syekh Abdul Hamid Abulung, yang ajarannya hingga hari ini diteruskan oleh Komunitas Abulung di Takisung, Kabupaten Tanah Laut.

Sejumlah penelitian menyebutkan, Abulung kemudian dieksekusi mati atas perintah Sultan Tahmidillah, berdasarkan pertimbangan Al Banjari.

Tak hanya itu, untuk mempertahankan faham yang disebarkan Al Banjari, Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja), pemimpin berikutnya—Sultan Adam pun mengeluarkan undang-undang yang memerintahkan rakyat untuk hanya mendalami ajaran yang menekankan contoh perilaku Nabi Muhammad beserta para sahabatnya tersebut. Kebijakan itu belakangan dikenal dengan nama Undang Undang Sultan Adam yang dikeluarkan pada 1835.

Selain soal Aswaja, Sultan Adam pun mewajibkan masyarakat membangun langgar dan beribadah di tempat tersebut. Ini yang membuat Banjarmasin—ibukota Kalimantan Selatan— kemudian dikenal sebagai Kota Seribu Langgar. Kementerian Agama Provinsi  Kalimantan Selatan mencatat jumlah total langgar pada 2011 mencapai 7.228, lebih banyak dibandingkan mesjid yang berjumlah 2.275.

Tapi masalah tak  juga selesai.

Perdebatan kelompok yang masing-masing memprioritaskan perangkat syariat maupun sufisme, terus mewarnai sejarah Banjar. Peneliti Ian Chalmers dari Curtin University menyatakan tarikat cenderung lebih longgar dalam menafsirkan Islam. Ini yang membuat pertentangan dengan para penganut syariat— yang  lebih mapan secara politik.

Namun, sejarah juga merekam satu tarikat, Baratib Baamal, justru menjadi kelompok  yang tak sekadar mementingkan soal hubungan intim hamba dan Allah.  Mereka melawan pasukan Belanda dalam perang Banjar periode 1861—1863, karena menganggapnya sebagai jihad.

“Sufisme akhrinya lebih diasosiasikan dengan pembangkangan sosial,” demikian Chalmers dalam risetnya soal sejarah islamisasi di Kalimantan Selatan. “Baratib Baamal adalah salah satu dari sejumlah pemberontakan. Tarikat sufi memainkan peranan penting.”

Perdebatan kelompok penyokong syariat maupun tasawuf tak jua menyurut. Satu penelitian UIN Antasari mencatat masyarakat  Banjar bahkan terbelah menjadi dua pada abad XIX: golongan tua dan golongan muda.  Mereka adu argumentasi—dan tak jarang menimbulkan perkelahian—tentang pemahaman yang paling benar, menyangkut dua hal tersebut.

Terlepas mulai berkembangnya kelompok pembaharu hingga pemurnian Islam saat itu, ajaran Al Banjari—Sammaniyah dan Aswaja—maupun Wujudiyah ala Abulung tetap melekat hingga kini. Pada abad XX, organisasi-organisasi dengan latar belakang ideologi pun saat itu mulai bermunculan. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga Syarikat Islam.

Sontak, ingatan saya berhamburan.

Ketika tumbuh di Banjarmasin pada awal 1990, tak jarang saya  mendengarkan ulama yang mengklaim  pemahamannya paling benar dan meremehkan tafsir lainnya. Baik dalam pengajian langsung atau yang juga disiarkan melalui radio. 

Abah—ayah, dalam bahasa Banjar— juga pernah mengajak saya dalam satu kelompok pengajian yang menggaungkan jihad, namun saya dengarkan sambil terkantuk-kantuk. Atau mengunjungi ke seorang tuan guru yang memberikan doa-doa tertentu.

Kesan saya, abah pun mengalami pencarian pengalaman religiusnya sendiri dengan menemui banyak kalangan.  Sejarah orang Banjar menjadi Islam— ketika saya beranjak remaja,  tak terlepas dari soal kekuasaan politik. Mungkin, ini macam yang dialami pada masa Al Banjari dahulu.

“Sejauh ini, ulama lebih mementingkan masalah tauhid, namun kurang untuk konteks sosial,” kata Syarbani Haira, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU), Kalimantan Selatan, pada Desember. “Padahal kewajiban terhadap Tuhan, setara dengan menjaga lingkungan.”

BACA JUGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper