Bisnis.com, JAKARTA - Masalah tentunya tak hanya menghampiri perusahaan lokal, namun juga multinasional.
Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), piutang negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara sepanjang 2005—2013 mencapai Rp1,30 triliun, yang berasal dari ditunggaknya iuran tetap dan royalti. Pada 2014, KPK melakukan pengawasan terhadap tata pengelolaan pertambangan pada 12 provinsi kaya tambang, dan Kalimantan Selatan salah satunya.
Tujuannya, tindak pidana korupsi dapat dicegah dan kerugian negara dapat diperoleh maksimal. Dari 12 provinsi tersebut, jumlah piutang total mencapai sekitar Rp905 miliar.
“Ini oligarki. Mereka yang berduit, akan mengontrol kekuasaan dan sumber daya alam. Jaringan ini mengerikan,” kata Mujiburrahman dari UIN Antasari.
“Kapan akan ada perubahan?” tanya saya.
“Saya khawatir pembalikan kesadaran orang Banjar dikarenakan adanya bencana terlebih dahulu,” kata Mujiburrahman. “Tetapi, saya tak mengharapkan kiamat itu terjadi.”
Kerusakan akibat batu bara bukan tak nyata. Mulai dari China hingga Kalimantan. Dari Shanghai hingga Banjarmasin. Riset dan diskusi pelbagai organisasi lingkungan nasional maupun internasional yang saya pelajari menyatakan, kerusakan itu terbentang dari tanah, air dan udara. Ada perampasan lahan para petani. Pencemaran sungai-sungai Kalimantan. Memburuknya kesehatan akibat letusan partikel pencemar ke udara. Saya pun ingat seorang sepupu perempuan, yang anaknya pernah mengalami batuk berkepanjangan, akibat debu dari truk-truk pengangkut batu bara.
Masalahnya, komoditas ini akan jadi persoalan di masa mendatang.
Ada rencana proyek pembangkit listrik raksasa di Batang, Jawa Tengah—dengan sokongan Grup Bank Dunia. Ada pula kebijakan mengubah energi minyak menjadi batu bara, oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun di sisi lain, orang-orang Banjar—sebagaimana warga yang tinggal di area kaya tambang— terus berhadapan dengan pelanggaran hak-hak dasar mereka. Kematian anak-anak kecil di lubang tambang di Kalimantan Timur, adalah salah satu imbas terburuk.
“Sembilan anak yang tewas di lubang tambang hanyalah salah satu potret buruk industri energi fosil,” kata Ki Bagus Hadikusuma, pengkampanye dari Jaringan Advokasi Tambang. “Tapi pemerintahan Jokowi terang-terangan merayu investor untuk pembangunan pembangkit listrik batu bara.”
Di balik peliknya perihal batu bara dan Al Banjari, masalah ini tetap saja membuka kembali kenangan saya di masa lalu.
Pengajian-pengajian yang pernah saya ikuti. Ulama-ulama yang bertahan dalam kesederhanaan mereka. Ini juga adalah ingatan soal orang-orang yang saya hormati dalam memberikan pemahamannya tentang nasihat kebaikan: berani mengubah keadaan saat kemungkaran terjadi. Baik melalui perbuatan, perkataan, hingga ucapan dalam hati, sebagai selemah-lemahnya iman.
Namun kemungkaran karena batu bara, saya kira, tak akan pernah bisa dihentikan sejengkal pun oleh tafsir penuh kebencian. Atau lebih buruk, yang menghamba pada kekuasaan.
BACA JUGA
- Seribu Langgar Sejuta Bara (I): Ulama dan Kehancuran Lingkungan
- Seribu Langgar Sejuta Bara (II): Satu Ladang Beda Ilalang
- Seribu Langgar Sejuta Bara (III): Hubungan Gelap Ulama dan Penguasa
- Seribu Langgar Sejuta Bara (IV): Kapital Raksasa
- Seribu Langgar Sejuta Bara (V): Oligarki, Si Perusak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel