Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NTP Terjerembab, Petani Kian Terpuruk

Di tengah upaya pencapaian swasembada pangan, pemerintah justru dinilai gagal melindungi petani pangan kelompok mayoritas petani Indonesia karena tingkat kesejahteraannya kian terpuruk.
Petani membersihkan gabah/Antara
Petani membersihkan gabah/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah upaya pencapaian swasembada pangan, pemerintah justru dinilai gagal melindungi petani pangan kelompok mayoritas petani Indonesia karena tingkat kesejahteraannya kian terpuruk.

Performa ini terlihat dari data nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) per April 2015 yang dirilis Badan Pusat Statistik, kemarin (4/5/2015). Setelah bertengger 4 bulan di atas 100, NTPP kembali terjerembab ke posisi 97,33. Ini merupakan level terendah dalam 4 tahun terakhir, persisnya Juli 2010.

"Ini kan posisinya di saat panen jadi pure tidak efektifnya peran intervensi pemerintah. Kalau kita lihat data ini tidak ada perlindungan ke petani dan tetap membiarkan mekanisme pasar yang tidak menguntungkan petani," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati kepada Bisnis.com, Senin (4/5/2015).

NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP di bawah 100 menunjukkan indeks harga yang diterima lebih rendah dari indeks harga yang dibayar. NTP dengan sendirinya adalah indikator daya beli sekaligus tingkat kesejahteraan petani.

Menurut Enny, salah satu faktor tergerusnya daya beli sekaligus kesejahteraan petani tanaman pangan dikarenakan tingginya disparitas harga di level petani dan di level konsumen. Apalagi, petani saat ini juga sebagai konsumen beras (net consumer) yang membeli beras layaknya masyarakat lain.

Skema pasar yang tidak sempurna, lanjutnya, membuat celah beberapa oknum melakukan permainan harga. Dalam laporan BPS, perubahan harga rata-rata beras pada April 2015 di tingkat petani (gabah petani / GKP) turun tajam hingga 8,74%. Di tingkat penggilingan pun harga beras juga turun 7,53%.

Ironisnya, harga beras di tingkat grosir hanya turun 3,08%. Sehingga di tingkat eceran, untuk menahan tetap tingginya daya beli masyarakat, penjual hanya menurunkan harga beras sekitar 4,82%. Kondisi ini, sambung dia, mencerminkan petani masih menjadi korban karena telah rela menjual murah gabahnya tapi terpaksa harus membeli beras dengan harga tinggi.

Dia mengimbau seharusnya pemerintah segera melakukan rekayasa kelembagaan agar menjaga harga gabah dari petani di level keekonomiannya. Menurutnya, Bulog pun saat ini seakan tidak mampu melakukan kebijakan itu.

Perlindungan Gagal

Perlindungan petani lewat penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) sesuai Instruksi Presiden No. 5/2015 juga dinilai gagal. Lewat Inpres tersebut, pemerintah mendongkrak harga pembelian gabah kering panen (GKP) menjadi Rp3.700 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp4.600 per kg danberas naik jadi Rp7.300 per kg.

Dengan HPP GKP tersebut, Enny berujar petani tidak akan terbantu karena harga pasarannya sudah berada di atas Rp4.000 per kg. Selain rendah, patokan harga itu justru bisa dimanfaatkan pengepul atau pedagang grosir untuk memainkan harga lewat membeli dengan harga sedikit di atas HPP.

Peran dari Bulog ini enggak ada efeknya. Buat apa pemerintah menentukan HPP padahal HPP itu supaya petani tidak mendapatkan harga di bawah itu, katanya.

Kendati BPS mencatat rata-rata harga GKP di tingkat petani dan penggilingan turun masing 8,7% dan 8,8%. Harga itu masih jauh dari HPP karena bertengger di level masing-masing Rp4.106,7 per kg dan Rp4.187,3 per kg.

Tak hanya itu harga GKG di tingkat petani maupun penggilingan pun masih jaug di atas HPP, masing-masing tercatat Rp4.842,7 per kg dan Rp4.920,3 per kg.

Kepala BPS Suryamin mengatakan harga yang tinggi itu bisa terbentuk karena pedagang berebut pasokan hingga ke sentra-sentra produksi. Menurutnya, Bulog bukan penyerap utama komoditas pangan utama itu.

"Bisa-bisa ini bukan Bulog. Bulog beli dengan HPP. Kalaupun mau beli, mungkin enggak jauh dari Rp4.600 karena ada constraint dari APBN," katanya.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menilai performa rendahnya NTPP itu memang dikarenakan turun tajamnya harga gabah di saat panen. Dia enggan berkomentar perlindungan HPP gagal karena menurutnya selain turunnya harga gabah, faktor kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan angkutan juga turut andil.

Hal itu juga menyebabkan NTP tertekan oleh pengeluaran non pangan, tegasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper