Bisnis.com, BANDUNG - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat menyatakan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di kawasan itu terpukul akibat serapan produksi yang terus menurun.
Sekjen API Jabar Kevin Hartanto memprediksi tren penurunan produksi akan berlanjut hingga Idulfitri mendatang. "Pasarnya terus melesu, tidak ada kegembiraan," ujarnya mengungkapkan alasan kepada Bisnis.com, Minggu (19/4/2015).
Menurut Kevin, saat ini seharusnya permintaan barang untuk Idulfitri sudah terlihat, tetapi kenyatannya masih sepi. Kondisi ini telah terjadi seperti pada periode yang sama tahun lalu.
Kevin menuturkan sudah banyak industri yang kapasitasnya tinggal 50%, dari yang sebelumnya mampu mencapai 100%. Hari kerja para pekerja pun berkurang menjadi 3-4 hari dalam seminggu.
"Biasanya pekerja melakukan aktivitas sampai lima hari, bahkan ada yang enam hari," ujarnya.
Dia berpendapat kondisi yang terus memburuk ini diakibatkan daya beli masyarakat yang turun, ditambah maraknya produk impor dari China.
"Pakaian bekas dari liar itu juga dijual dengan harga murah. Ini sudah tidak masuk akal, karena harga bahan naik terus sementara impor baik legal maupun ilegal dijual murah," ucapnya.
Adanya impor juga membuat harga produk lokal susah untuk naik karena harus bersaing. Oleh karena itu pemerintah segera mengeluarkan dan menerapkan regulasi yang jelas mengenai impor barang tekstil agar industri lokal tetap menggeliat.
Asosiasi Produsen Syntethic Fiber Indonesia (Apsyfi) mencatat produksi industri tekstil di sektor hulu pada kuartal I/2015 anjlok hingga 50% akibat derasnya impor yang membanjiri dalam negeri.
Bahkan, derasnya impor memicu beberapa industri di sektor hulu terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu bersaing.
Sekretaris Jenderal Apsyfi Redma Gita Wiraswasta mengatakan saat ini sudah tida industri di Indonesia yang tutup produksi, yakni dua di Kota Tangerang dan satu di Kabupaten Karawang. "Dua di antaranya pada 2014, dan yang satu lagi pada awal 2015 lalu," ujarnya.
Dia menyebutkan saat ini industri yang beroperasi memproduksi fiber dan filamen tinggal delapan.
Dia melanjutkan pada 2014 impor kain mencapai 600.000 ton, naik 50% dari tahun 2008 yang mencapai 300.000 ton. Akibatnya, menurut Redma, perputaran penjualan tidak sampai ke hulu. "Pabrik fiber dan filamen lokal menjadi tidak mendapat ruang untuk penjualan," ujarnya.
Seharusnya pemerintah segera membuat aturan jelas mengenai impor bahan. Setidaknya untuk kepentingan penjualan barang lokal. "JIka membutuhkan bahan impor, sebaiknya itu untuk produksi yang selanjutnya akan diekspor, bukan untuk dijual di pasar lokal."