Bisnis.com, JAKARTA – Realisasi penerimaan pajak hingga Sabtu (28/3) – tiga hari jelang batas waktu penyampaian SPT wajib pajak orang pribadi (WP OP) – hanya senilai Rp170 triliun masih jauh dari realisasi kuartal I tahun lalu yang mencapai Rp281 triliun.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito ternyata tidak menganggap performa realisasi tersebut sebagai sinyal yang mengkhawatirkan bagi otoritas pajak untuk menggenjot penerimaan pajak (minus PPh migas) senilai Rp1.244,7 triliun sesuai APBNP 2015.
“Penerimaan sampai dengan dua hari yang lalu sudah Rp170 triliun. Ya paling baru 10% [dari target pendapatan negara], tapi saya enggak khawatir karena biasanya numpuk di hari-hari terakhir dan itu belum termasuk upaya yang saya lakukan,” ujarnya ketika ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (30/3).
Jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak (minus PPh migas) tahun ini, realisasi tersebut hanya mencapai 13,7%. Angka ini sekaligus mengonfirmasi data yang disampaikan Djadjad H. Wibowo, pendiri lembaga kajian strategis dan intelejen ekonomi Dradjad Wibowo & Partners (DWP) sebelumnya. (Bisnis,25/3).
Dradjad mengungkapkan data penerimaan pajak nonmigas hingga Selasa (24/3) baru 13,3% dari total target 2015. Dia mengungkapkan realisasi penerimaan sebesar 13,3% sepanjang tahun berjalan ini merupakan salah satu level yang terendah, bahkan saat penerimaan Ditjen Pajak (DJP) selalu mencatatkanshortfall sepanjang 8 tahun terakhir. Situasi ini kian parah karena penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga turun akibat harga minyak yang anjlok.
Sigit masih bersikukuh akan akselerasi penerimaan pajak lewat kebijakan sunset policy jilid II yang akan mulai diberlakukan April, setelah semua data SPT WP OP masuk hari ini (31/3). Menurutnya, penerimaan pajak baru akan mulai melesat setelah April.
Dalam catatan Bisnis, sunset policy terbukti mampu mengakselerasi penerimaan pajak pada 2008 – dikombinasikan dengan restitusi – yang mencapai Rp494 triliun, lebih tinggi Rp13 triliun dari target APBNP 2008 Rp481 triliun. Namun, pada 2009, penerimaan stagnan dengan capaian yang hampir sama dengan 2008 sekaligus kembali mencatatkan shortfall Rp34 triliun.
Dia mengklaim skema kebijakan penghapusan denda 2% per bulan dari jumlah pajak kurang bayar yang muncul akibat pembetulan SPT tersebut, lanjutnya, berbeda dengan 2008 silam. Tahun ini, DJP menggunakan sistem mandatory bukan hanya voluntary.
Hasil rekap data SPT selama lima tahun ke belakang disebut-sebut akan menjadi acuan DJP untuk ‘memaksa’ pengoreksian SPT. Dengan data tersebut, lanjut dia, DJP akan gencar menyurati setiap WP yang terbukti kurang bayar pajak dan perlu melakukan koreksi SPT.
Seperti diketahui, dalam sunset policy jilid I, memang hanya aspek voluntary yang disasar. Aspek kesukarelaan tersebut termaktub dalam pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Sekarang ada voluntary dan mandatory, inisiatif dari DJP. Langkah dilakukan lewat data mengenai konsumsi dan membandingkan dengan SPT. Nanti pakai surat. Kalau enggak respon ya kita ‘ketok’ [datangi langsung] untuk melakukan pembetulan,” katanya.
Payung hukum yang ditargetkan terbit paling lambat 1 April ini bukan hanya mengatur terkait pajak penghasilan tapi juga pajak pertambahan nilai (PPN). Skema PPN pun sama dengan PPh, dengan melihat omzet perusahaan.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjanjikan tingginya penerimaan pajak tahun ini akan dimulai setelah April lewat perbaikan kepatuhan WP yang menjadi fokus otoritas tahun ini. Menurutnya, akan ada perbaikan di sisi PPh WP OP.
“[Penerimaan pajak] sampai Maret dan April mungkin belum terlalu banyak karena fokusnya adalah setelah SPT badan masuk akhir April. Untuk itu kita akan fokus pada tahun pembinaan pajak 2015, dimana semua WP wajib memperbaiki SPT 5 tahun terakhir,” ungkapnya.
Dia pun masih tetap pada posisi awal yang kukuh bisa mencapai target dan tidak akan memangkas belanja negara. Mantan Wamenkeu ini justru menyalahkan beberapa lembaga multilateral yang memproyeksikan adanya shortfall tahun ini karena dinilai belum mendengar secara menyeluruh rencana terbaru pemerintah terkait penggenjotan penerimaan negara tahun ini.
Belum lama ini, Asian Development Bank (ADB) mengingatkan adanya risiko shortfall – tanpa menyebut besarannya – setelah sebelumnya World Bank dan IMF kompak memproyeksikan shortfall masing-masing Rp282 triliun dan Rp235 triliun dari target pendapatan negara.
Bahkan, DWP memproyeksikan shortfall penerimaan pajak tahun ini akan berkisar Rp270triliun—360 triliun. Kondisi ini pada akhirnya akan membuat ruang fiskal menyempit sehingga pemerintah harus memangkas belanja. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi diprediksi masih melambat di level 5%.