Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas mengatakan para pelaku usaha mainan Indonesia masih belum siap menghadapi MeA 2015.
Sejauh ini mainan impor, masih mendominasi pasar dalam negeri Indonesia. Komposisi mainan impor mencapai sekitar 65% dari jumlah mainan yang berada di pasar domestik.
“Dalam menghadapi asean ini, semua bebas masuk ke dalam Indonesia, sedang pelaku usaha mainan ini seperti belum siap, untuk kebutuhan lokal saja, masih berat. Saat berlakunya MEA ini, tentu akan lebih banyak lagi barang yang masuk ke Indonesia dari luar,” kata Sutjiadi..
Pemberlakuan standar nasional Indonesia (SNI) di satu sisi, menurutnya, dapat membantu menahan gempuran produk mainan asing dan meningkatkan mutu dan daya saing produk lokal. Namun, di sisi lain penerapan SNI juga menjadi beban bagi para produsen karena biaya yang cukup mahal.
Sutjiadi mengilustrasikan, biaya SNI pada produk impor bisa mencapai Rp75 juta untuk sekali pengapalan. Sedangkan untuk produk lokal biayanya hanya setengahnya untuk volume yang sama, yaitu Rp35 juta. Pihaknya sendiri masih mencoba meminta kepada pemerintah, agar SNI pada produk mainan lokal yang saat ini hanya berlaku selama enam bulan, diperpanjang menjadi satu tahun agar mengurangi biaya produksi.
Analis Bisnis Christianto Wibisono mengatakan para pelaku usaha di Indonesia mau tidak mau harus siap menghadapi persaingan di pasar bebas, khususnya MEA. Menurutnya, para pengusaha harus mengubah ketakutan mereka terhadap serbuan produk asing ke pasar domestik menjadi peluang untuk menggarap pasar luar negeri.
“Mesti harus ada perubahan mental, bahwa kita bisa offensif juga. Kita jangan merasa akan diserbu terus, tapi harus siap untuk masuk ke pasar lain, walaupun sebenarnya pasar terbesar tetap di sini,” kata Christianto.