Bisnis.com, JAKARTA—Perubahan sikap The Fed pada pernyataan pekan lalu menambah tekanan kepada Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan.
BI Rate berpeluang turun pada April jika data pengangguran Amerika Serikat menunjukkan bahwa laju penyerapan tenaga kerja negara tersebut masih lesu.
Dewan bank sentral Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Federal Open Market Committee (FOMC), pekan lalu mengumumkan perubahan sikap terkait rencana pengetatan moneter.
The Fed menetapkan target suku bunga AS pada 2015 di 0,625%, lebih rendah signfikan dari target 1,125% yang ditetapkan hanya 3 bulan sebelumnya.
Welian Wiranto, ekonom Bank OCBC, mengatakan sikap The Fed membawa ketidakpastian baru bagi bank sentral di Asia termasuk Bank Indonesia.
Penurunan target suku bunga The Fed memang memberikan angin segar bagi investor global untuk kembali masuk ke pasar dan mendongkrak nilai tukar mata uang Asia seperti rupiah.
Di sisi lain, sikap The Fed yang berubah 180 derajat dalam waktu 3 bulan juga menimbulkan kecemasan Fed Fund Rate bisa naik sewaktu-sewaktu meski pada level yang lebih rendah.
Pasar saat ini memperhatikan data ekonomi domestik AS untuk memperkirakan waktu penaikan suku bunga yang lebih spesifik, khususnya data inflasi dan penyerapan tenaga kerja.
Data inflasi Maret AS menunjukkan laju kenaikan harga masih terlalu lambat untuk mendorong kenaikan suku bunga The Fed. Inflasi Maret AS tercatat 0,2% YoY pada Maret, jauh lebih rendah dari target 2% yang ditetapkan The Fed.
“Jadi, pasar masih cenderung melihat bahwa, walaupun suku bunga The Fed akan naik tahun ini, kadar peningkatan itu kemungkinan besar masih akan cukup rendah,” kata Welian, Rabu (25/3/2015).
Namun, data yang menjadi acuan utama untuk waktu penaikan suku bunga adalah tingkat penyerapan tenaga kerja. The Fed tampak lebih reaktif terhadap data tenaga kerja dibandingkan data lain.
Data terbaru terkait tingkat pengangguran AS akan diumumkan pada 3 April 2015, tidak sampai sepekan dari jadwal rapat dewan gubernur BI pada 9 April 2015.
Kedekatan waktu tersebut sangat signifkan karena sikap dovish The Fed mempersulit posisi bank sentral yang berada dalam tekanan untuk melonggarkan kebijakan moneter seperti Bank Indonesia.
“Keputusan The Fed membuat bank sentral tidak bisa lagi menggunakan kenaikan suku bunga AS sebagai alibi menolak menaikan suku bunga,” kata Welian.
BI telah menerapkan kebijakan hawkish sejak sentimen tappering tantrum dua tahun lalu dan semakin ketat ketika pemerintah Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM bersubsidi pada November.
Pelonggaran moneter tahap pertama sudah dilakukan BI pada Februari lalu secara mengejutkan.
Welian memperkirakan pelonggaran berikutnya berpeluang besar terjadi jika data pengangguran April AS menunjukkan penyerapan tenaga kerja AS tumbuh dengan lambat.