Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mengklaim eksekusi rencana belanja modal sesuai rencana takkan mengganggu stabilitas makro, meski nilai tukar sudah membumbung ke kisaran Rp13.000 per dolar.
"Yang lebih tahu itu kita sendiri, bukan World Bank bukan IMF (International Monetary Fund). Enggak ada rencana mengerem. Aman semua Insyaallah," kata Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago.
Hal itu menyusul saran dari sejumlah ekonom, termasuk World Bank, yang memandang pemerintah perlu merevisi rencana belanja yang ekspansif sepanjang tahun ini. Pasalnya, ekonom khawatir depresiasi nilai tukar dan ancaman melesetnya target penerimaan justru akan menganggu fundamental perekonomian, utamanya defisit neraca transaksi berjalan.
Sejak awal tahun ini, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tergerus nyaris 6% dari posisi awal perdagangan 2015 pada level Rp12.545. Sementara pada akhir pekan lalu rupiah terpelanting ke posisi Rp13.123 dengan rerata nilai sepanjang tahun sekira Rp12.700, meleset dari asumsi APBN Perubahan Tahun 2015, yakni Rp12.500.
Ekonom menyepakati bahwa tekanan terhadap rupiah masih terus berlanjut seiring dengansupercycle dolar AS yang dipicu prospek kenaikan suku bunga acuan atauFed funds rate.
World Bank memproyeksikan dengan laju belanja saat ini defisit neraca transaksi berjalan akan berkisar pada US$29,1 miliar sepanjang 2015 atau 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu akan kian melambung pada 2016 menjadi US$34,5 miliar atau setara 3,2% PDB.
Risiko lain juga datang dari inflasi hasil importasi atau imported inflation mengingat gencarnya proyek infrastruktur akan memicu importasi bahan baku bangunan yang sebagian besar memang diimpor.
Terkait hal itu, Andrinof mengatakan pemerintah justru akan memanfaatkan situasi ini sebagai momentum untuk meningkatkan produksi bahan baku dalam negeri. Sembari menunggu peningkatan produksi tersebut, pemerintah akan mengoptimalisasi penggunaan produk domestik.