Bisnis.com, JAKARTA - Lonjakan harga pangan utama mewarnai awal 2015. Mafia komoditas dituding menjadi biang kerok. Di sisi lain, pemerintah tak mampu mengamankan suplai di pasar. Untuk mengetahui akar persoalan lebih dalam, Bisnis Indonesia mewawancarai Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar, berikut petikannya:
Penyebab awal kenaikan harga pangan utama beras?
Waktu panen agak mundur karena hambatan iklim, sehingga stok yang ada di Bulog [Badan Urusan Logistik] dan pedagang makin menipis. Pada saat itu, pelaksanaan operasi pasar raskin [beras miskin] juga lambat. Alhasil, masyarakat yang biasa mengonsumsi raskin jadi ikut membeli beras biasa sehingga stok beras di pasaran makin menipis. Dorongan permintaan yang besar secara alami mendongkrak harga naik.
Pemerintah tidak antisipatif dalam menjaga suplai. Kalau jadwal panen normal mungkin tidak jadi masalah. Persoalannya, pergeseran musim tanam yang terjadi kemarin harusnya bisa dilihat lebih cermat sehingga bisa mengambil kebijakan untuk turun ke pasar lebih awal.
Pemerintahan baru belum beradaptasi dengan persoalan?
Bisa jadi karena pemerintahan baru jadi agak kehilangan perhatiannya. Pejabat baru belum paham betul kondisinya yang baru saja terjadi. Pejabat di bawahnhya belum ada arahan, jadi belum berani mengambil kebijakan.
Apakah ada indikasi permainan mafia komoditas?
Menurut saya bukan masalah mafia, tapi lebih kepada dua hal, yakni keterlambatan pemerintah melakukan operasi pasar, dan kejelian pedagang untuk ambil untung. Saya tidak percaya kalau ada mafia komoditas.
Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, Bulog punya kemampuan menyimpan beras yang terbatas. Dengan total produksi nasional yang mencapai 38 juta ton, Bulog hanya mampu menyimpan sekitar 20% atau 8 juta ton di gudangnya. Sedangkan 80% produksi tersebar di seluruh pedagang di luar Bulog.
Oleh karena persaingan yang tinggi, pedagang tidak bisa mendapat untung tebal dari sisi harga. Maka muncul banyak pedagang besar yang mengambil keuntungan dari sisi volume. Hal itu wajar karena pedagang ingin mengambil kesempatan dari sisi volume. Tapi sebagian orang melihat penguasaan yang besar itu berarti kartel, padahal belum tentu.
Definisi kartel atau mafia itu sesama pedagang besar kompak mengatur harga yang tinggi. Pada komoditas beras ini kenyataannya tidak, memang struktur pasarnya saja yang oligopoli.
Untuk komoditas daging sapi misalnya, bukan persoalan mafia tapi perkara regulasi. Kebijakan impor yang masih berdasarkan sistem kuota menciptakan peluang terjadinya rekayasa harga daging. Permainan biasanya terjadi dalam pengurusan izin importasi. Jika importir ingin mendapat kuota lebih banyak, biasanya ada uang pelicin. Alhasil, biaya tambahan itu dibebankan kepada konsumen melalui harga daging yang mahal. Oleh karena itu, saya usulkan jangka lagi memakai sistem kuota, tapi gunakan sistem tarif agar dikenakan biaya pajak di depan, transaksi juga sebaiknya menggunakan sistem teknologi informasi.
Komoditas gula pun demikian, persoalan yang timbul lebih kepada suplai gula impor yang merembes ke pasar dan menyebabkan harga gula dalam negeri tidak kompetitif.
Terkait komoditas beras, Bagaimana peran Bulog dalam mengantisipasi lonjakan harga?
Pemerintah hanya punya satu instrumen untuk mempengaruhi distribusi pangan, yaitu Bulog, maka harus dimanfaatkan secara baik. Hal itu sangat mungkin karena infrastrukturnya sudah memadai, ada gudang, cabang sampai di daerah, sumber daya manusia juga memadai, baik jumlah maupun kualitasnya. Sebetulnya kita harus optimis dan memberi kesempatan kepada Bulog untuk menunjukkan kemampuan dan perannya. Jangan terus menyalahkan Bulog.
Pemerintah juga harus memikirkan anggaran untuk Bulog. Sebagai perusahaan umum, penyertaan modal dari pemerintah sangat mutlak dibutuhkan.
Bagaimana solusi menjaga fluktuasi harga pangan utama?
Agar lonjakan harga pangan tidak terus berulang, pemerintah harus menggunakan pendekatan jangka menengah dan jangka panjang. Langkahnya apa? Tidak ada kata selain meningkatkan basis produksi. Kalau surplus banyak mau apapun persediaan ada. Pedagang juga berhitung, kalau persediaan banyak mereka tidak akan bermain harga, tidak akan ambil risiko tidak laku. Masalahnya sekarang surplusnya tipis. Jadi kalau hanya tipis lalu disimpan Bulog dan pedagang, maka di pasar kelihatannya stok habis dan itu dilihat sebagai kesempatan oleh pihak tertentu.
Berapa level surplus aman untuk menjaga ketahanan pangan?
Idealnya, harus ada surplus 30% dari total kebutuhan nasional. Untuk beras misalnya, kebutuhan nasional sekitar 36 juta ton, maka surplus yang dibutuhkan sebaiknya ada tambahan 10 juta ton surplus dari angka kebutuhan. Nantinya bisa dipakai untuk Raskin, kebutuhan darurat, atau bisa diimpor.
Faktanya, sekarang pemerintah masih mengimpor daging sapi sebanyak 30% dari kebutuhan nasional, gula juga masih impor 40% dari kebutuhan. Kalau mau ideal, produksi harus dua kali lipat dari yang ada sekarang.
Akar persoalan produksi pangan nasional?
Masalah utamanya tentu saja lahan, pemerintah harus menambah areal tanam, mencetak lahan pertanian baru. Di Jawa, lahan terus terkonversi, areal tanam tidak bertambah, itu bahaya. Pemerintah harus berpikir strategis langsung ke akar masalahnya, harus lebih cepat membangun produksi.
Solusi paling masuk akal ialah membangun pertanian di luar Jawa. Dengan teknologi tentu bisa disesuaikan produktivitasnya dengan di Jawa. Indonesia punya banyak ahli pertanian, hanya butuh niat pemerintah saja untuk lebih serius.