Bisnis.com, JAKARTA—Apresiasi dolar AS yang semakin menindas rupiah diperkirakan bakal mengerek harga pangan olahan hingga 15%.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan pelaku usaha akan melihat pergerakan nilai tukar rupiah sampai dua pekan ke depan sebelum tentukan kenaikan harga jual.
“Ini agak mengkhawatirkan ya. Kami perkirakan dalam budget [biaya produksi] rupiah Rp12.000 – Rp13.000 per dolar, tiba-tiba tembus dari Rp13.000. Tapi industri masih punya daya tahan,” tuturnya, di Jakarta, Rabu (11/3/2015).
Stok bahan baku yang dimiliki industri makanan dan minuman (mamin) setidaknya dapat mengamankan harga sampai beberapa pekan ke depan. Adapun stok yang dimiliki produsen dan distributor masing-masing sekitar sebulan.
Apabila dalam dua pekan mendatang nilai tukar surut ke bawah Rp13.000 per dolar AS dinyatakan tak perlu ada penaikan harga jual. Tapi jika yang terjadi sebaliknya maka penyesuaian harga tidak bisa dihindari. Gapmmi menyatakan sejauh ini penaikan harga jual mamin tetap pilihan terakhir.
Produsen mamin olahan, imbuhnya, berusaha mencari celah efisiensi produksi agar tidak perlu melakukan penaikan harga. Tapi kalau kurs rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp14.000 maka penyesuaian harga tak bisa dibendung. Lonjakan harga jual diperkirakan mencapai di atas 15%.
Depresiasi rupiah memengaruhi ongkos produksi khususnya berkenaan dengan impor bahan baku.
Sejumlah bahan baku yang tergantung kepada impor adalah terigu seluruhnya impor, susu sekitar 70% impor, dan gula yang juga 100% beli dari luar negeri.