Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah upaya mencapai tingginya target penerimaan pajak tahun ini, pemerintah justru menggunakan insentif pajak sebagai antisipasi derasnya arus impor dan repatriasi, konsekuensi logis dari masuknya investasi.
Direktur Diregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot mengatakan untuk upaya pendorongan investasi yang berorientasi ekspor, pemerintah akan memberikan tambahan fasilitas tax allowance dua tahun dari waktu dasarnya enam tahun.
“Jika 30% dari total produksi itu diekspor, akan ada tambahan [tax allowance] dua tahun,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Ketika ditanya pertimbangan yang digunakan pemerintah sehingga muncul persentase 30% itu, Yuliot hanya mengungkapkan yang penting ada penguasaan pasar global sehingga ada potensi bertambahnya devisa negara.
Menilik laporan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dirilis Bank Indonesia, neraca transaksi barang memang mengalami tren penurunan signifikan sejak 2012 yang mencatatkan surplus US$8,68 miliar anjlok 74,3% dari capaian tahun sebelumnya surplus US$33,83 miliar.
Capaian itu pada gilirannya membuat neraca transaksi berjalan berubah defisit dan semakin tinggi tiap tahunnya. Puncaknya pada 2013, defisit (current account deficit / CAD) tercatat US$29,12 miliar. Memang tahun lalu defisit menurun di level US$26,23 miliar. Namun, penurunan dikarenakan perlambatan ekonomi dan masih bias ketatnya kebijakan moneter.
Tergerusnya CAD selama ini dikarenakan masih tetap tingginya defisit neraca pendapatan primer. Tak tanggung-tanggung, tahun lalu, performa neraca ini mencatatakan rekor defisit tertinggi selama ini, mencapai US$27,82 miliar.
Sekadar informasi, neraca pendapatan primer disumbang a.l. pembayaran bunga pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta, keuntungan perusahaan penanaman modal asing (PMA) oleh investor asing, dan pembayaran dividen atas kepemilikan saham domestik oleh nonresiden.
Untuk mendorong ditransfernya dividen ke luar negeri, Yuliot menegaskan pemerintah akan memberi pula tambahan tax allowance 2 tahun bagi investor yang melakukan reinvestasi. Namun, tidak ada hitungan presentase laba atau dividen yang dipakai untuk mendapatkan fasilitas itu.
“Hanya dibuktikan dengan earning after tax diivestasikan yang dihitung sebagai tambahan equity, dapat tambahan [tax allowance] dua tahun,” katanya.
Yuliot menegaskan langkah pemberian insentif tax allowance ini tidak akan berbalik menggerus penerimaan negara. Dengan insentif fiskal ini, lanjutnya, justru akan ada tambahan penerimaan karena industri yang merugi bisa hidup kembali dan memberi efek berganda pada perekonomian nasional.
Deputi Bidang Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan insentif seperti itu dinilai masih kompetitif dan menarik investor sehingga ada kesempatan menjadi awal pengurangan repatriasi.
Insentif itu dinilai signifikan bagi investor karena pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal itu dibebankan selama enam tahun – waktu dasar – masing-masing sebesar 5% per tahun.
Sayangnya, BKPM mencatat selama 2007-2014 itu hanya 88 perusahaan yang memanfaatkan fasilitas tax allowance. Puncak penerbitan fasilitas pada 2007 yang mencakup 52 perusahaan. Jumlah perusahaan yang memanfaatkan insentif itu semakin menurun. Terakhir pada 2014, hanya 7 korporasi yang menikmati tax allowance.
Azhar mengungkapkan kondisi itu dikarenakan banyak cakupan bidang yang belum masuk dan lamanya proses pengurusan fasilitas itu. Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah mematangkan percepatan dan perluasan bidang yang mendapatkan tax allowance.
Dihubungi terpisah, Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan langkah pemberian tax allowance dan perombakan perizinan memang akan mendorong investor untuk melakukan reinvestasi. Namun, ekspektasi ekonomi Indonesia akan lebih baik dan ekspansif juga harus menjadi perhatian pemerintah.
“Saya belum hitung berapa persentasenya tapi dugaan saya [repatriasi] bisa turun, tapi tidak langsung turun drastis karena reformasi bukan proses yang singkat,” katanya. []