Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ginsi Desak Importir Setop Barang dari Australia & Brasil

Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP Ginsi) memberikan ultimatum kepada para importir Indonesia untuk menyetop barang dari Australia dan Brasil karena memanasnya hubungan diplomatik Indonesia dengan dua negara tersebut.
Ultimatum Ginsi untuk menyetop barang dari Australia dan Brasil merupakan bentuk dukungan importir domestik dalam penegakan hukum di Indonesia./Ilustrasi Aktivitas ekspor impor di pelabuhan-Bisnis.com
Ultimatum Ginsi untuk menyetop barang dari Australia dan Brasil merupakan bentuk dukungan importir domestik dalam penegakan hukum di Indonesia./Ilustrasi Aktivitas ekspor impor di pelabuhan-Bisnis.com

Bisnis.com, SEMARANG - Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP Ginsi) memberikan ultimatum kepada para importir Indonesia untuk menyetop barang dari Australia dan Brasil karena memanasnya hubungan diplomatik Indonesia dengan dua negara tersebut.

Ketua BPP Ginsi Rofiek Natahadibrata memaparkan langkah ultimatum tersebut juga sebagai bentuk dukungan importir domestik dalam penegakan hukum di Indonesia. Hubungan Indonesia dengan dua negara tersebut, katanya, terjadi setelah adanya keputusan pemerintah mengeksekusi terpidana mati warga Australia dan Brasil dalam kasus narkoba.

“Kami menyesalkan atas kejadian dan perlakuan dari Brasil dan Australia. Maka dari itu, kami minta para importir untuk menyetop kegiatan importasi dari dua negara itu,” papar Rofiek di sela-sela Pengukuhan Pengurus BPD Ginsi Jawa Tengah di Semarang, Selasa (24/2).

Rofiek meminta kepada anggotanya dan importir lain untuk mencari alternatif negara lain yang bisa memasok barang yang dibutuhkan dalam negeri. Jika dilihat dari neraca perdagangan Indonesia dengan dua negara yang bersangkutan, dia mengakui Indonesia mengalami defisit.

Kendati demikian, pihaknya meminta kepada importir agar tidak ketergantungan barang baik berupa alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan sapi dari dua negara yang memprotes kebijakan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba.

“(sebenarnya) Banyak altenatif negara lain, akan lebih pas jika importir yang menentukan,” paparnya.

Menurutnya, ultimatum penghentian impor justru merugikan kedua negara yang bersangkutan. Pasalnya, Indonesia selama ini dikenal sebagai pasar yang menjanjikan untuk menjual barang dari luar negeri.

“Pengaruhnya kan justru pada mereka. Kita statusnya hanya sebagai pembeli,” ujarnya.

Ketua BPD Ginsi Jateng Budiatmoko mengatakan kegiatan importasi yang terjadi di Jateng mayoritas didominasi barang yang merupakan bahan baku untuk produk ekspor.
Jenis barang impor ke Jateng, katanya, antara lain kapas sebanyak 15%, biji plastik sebanyak 10% dan tepung sebanyak 7%, sisanya merupakan impor barang acak.

“Kapas itu paling banyak didatangkan dari Amerika. Ada juga Australia. Biji plastik dari Timur Tengah dan terigu dari berbagai negara,” katanya.

Dia mengatakan angka impor di Jateng tahun ini ditargetkan naik 15% seiring dengan banyaknya perusahaan asing yang merelokasi pabriknya ke Jateng. Hal itu dilakukan mengingat upah buruh di sini lebih murah dibandingkan dengan daerah lain, terutama Jawa Barat dan DKI Jakarta.

“Yang kami ketahui ada perusahaan Korea yang tahun mendirikan pabrik di sini. Tentu mereka membutuhkan bahan baku yang cukup banyak,” paparnya.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meminta kepada para importir untuk mematuhi peraturan pemerintah dan tidak melakukan impor barang ilegal. “Kami harus tahu persis datanya, kalau di luar data terjadi penyimpangan berarti gelap,” paparnya.

Ganjar meminta kepada instansi terkait untuk menutup pintu atau titik masuknya barang impor ilegal yang akan meresahkan pasar dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik Jateng menyebutkan nilai ekspor di wilayah ini pada Desember 2014 mencapai US$ 466,61 juta atau mengalami kenaikan sebesar 15,13% dibandingkan ekspor November 2014 (US$ 405,28 juta).

Namun demikian, jika dibandingkan Desember 2013 (year on year) nilai ekspor Jateng mengalami penurunan sebesar US$ 116,94 juta (20,04%).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Khamdi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper