Bisnis.com, JAKARTA - Rasio utang luar negeri terhadap ekspor barang dan jasa atau debt service ratio kuartal IV/2014 tercatat 46,2%, melesat cepat dalam setahun. Perkembangan itu dinilai tidak sehat karena meningkatkan risiko gagal bayar di tengah penerimaan ekspor yang jeblok.
Meskipun menurun dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya yang tercatat 46,4%, DSR kuartal IV/2014 masih dalam tren menanjak. Pada periode sama tahun sebelumnya, DSR masih tercatat 41,3%.
Bank Indonesia mengumumkan jumlah utang luar negeri (ULN) akhir 2014 mencapai US$292,6 miliar, naik 9,9% dari posisi tahun sebelumnya. Peningkatan itu terjadi sejalan dengan kenaikan pinjaman luar negeri sektor publik 5% menjadi US$129,7 miliar dan sektor swasta 14,2% menjadi US$162,8 miliar.
DSR 46,2% berarti sebanyak 46,2% dari penerimaan ekspor barang, jasa, dan transfer pendapatan, habis digunakan untuk membayar ULN.
Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk Juniman berpendapat penurunan secara kuartal tidak dapat menjadi ukuran perkembangan utang membaik. Bahkan, jika dibandingkan setahun lalu, perkembangan utang semakin mengkhawatirkan.
"Sepanjang DSR di atas 30%, itu lampu kuning. Jangan sampai kebablasan," katanya, Senin (22/2/2015).
Tahun ini rasio bahkan berisiko meninggi mengingat pemerintah menarik utang lebih besar untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Melihat prospek pemulihan di Tanah Air, swasta pun menarik pinjaman lebih besar untuk ekspansi.
Padahal di sisi lain, kinerja ekspor masih loyo karena ekonomi global belum sepenuhnya pulih. Ekspor tahun lalu terkontraksi 3,4% menjadi US$176,3 miliar sejalan dengan pelemahan harga komoditas dan lesunya permintaan global.
Saat penerimaan ekspor belum dapat diharapkan, utang menurut Juniman harus dikendalikan.