Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tingginya Target Penerimaan Pajak Resahkan Pengusaha. Ini Alasannya

Pengusaha mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan menurunkan target penerimaan pajak 2015 yang dinilai tidak realistis dan cenderung menimbulkan kepanikan pada pelaksana pajak dan pada gilirannya meresahkan dunia usaha.
Aktivitas di kantor pajak. / Bisnis
Aktivitas di kantor pajak. / Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Pengusaha mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan menurunkan target penerimaan pajak 2015 yang dinilai tidak realistis dan cenderung menimbulkan ‘kepanikan’ pada pelaksana pajak dan pada gilirannya meresahkan dunia usaha.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Suryo Bambang Sulisto menyatakan pada prinsipnya para pengusaha mendukung adanya penggenjotan penerimaan pajak, tapi target penerimaan pajak yang terlampau tinggi berisiko merusak iklim dunia usaha jika tidak ada ekstensifikasi yang baik.

“Jangan sampai hanya mencari di kebun binatang. Intensifikasi penting, tapi ekstensifikasi yang lebih dibutuhkan saat ini,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (4/2/2015).

Seperti diketahui, setelah mencatatkan shortfall – selisih antara realisasi dari target – sekitar Rp25,9 triliun, PPh nonmigas ditargetkan Rp629,8 triliun dalam RAPBNP 2015 atau naik Rp74,1 dari APBN induk Rp555,7 triliun.

Kenaikan PPh tersebut juga mencatatakan kenaikan tersebesar, sekitar 56,3% dari total rencana kenaikan penerimaan pajak nonmigas Rp131,7 triliun dalam RAPBNP 2015 menjadi Rp1.244,7 triliun dari APBN 2015 Rp1.113,0 triliun.

Kenaikan itu memicu pemerintah melakukan upaya intensifikasi dengan perombakan beberapa aturan yang sebagian besar berkaitan dengan perluasan basis pajak. Kondisi ini, sambung Suryo, justru berisiko menurunkan penerimaan pajak karena produktivitas dan daya beli masyarakat menurun.

Menurutnya, di tengah tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang masih terjadi bahkan  beberapa sektor industri seperti batu bara, kelapa sawit, properti, retail, hingga sektor perhotelan dan pariwisata yang menurun seharusnya menjadi salah satu pertimbangan sudah adanya gejala penurunan kinerja.

Ketua Komite Tetap Kebijakan bidang Properti dan Kawasan Industri Kadin Teguh Satria mengatakan salah satu kebijakan yang berisiko melesukan bisnis properti pengenaan PPn-BM dengan tarif 20% dan penurunan batasan barang sangat mewah (PPh Pasal 22) pada apartemen dari semula di atas Rp10 miliar menjadi di atas Rp2 miliar.

“Sudah kami sampaikan ini kontraproduktif. Pasar properti anjlok, pajak turun,” ungkapnya.

Sebelumnya, Wamenkeu sekaligus Plt Dirjen Pajak Mardiasmo mengatakan perluasan basis pajak itu semata-mata dilakukan untuk mendorong penerimaan pajak 2015 yang diakui cukup tinggi dan sulit tercapai jika hanya mengandalkan strategi penerimaan seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Mereka memang orang kaya, diberi tambahan pungutan pajaknya. Agar ada keadilan juga,” ujarnya.

Teguh mengatakan seharusnya perlu terobosan yang baru seperti dikeluarkannya peraturan yang mengakomodasi Real Estate Investment Trust (REIT) sehingga bukan hanya Singapura yang menikmati pajaknya.

Penggenaan tarif PPn-BM yang berjenjang mulai dari 5%-20% seharusnya juga menjadi pertimbangan pemerintah. Selain itu, seharusnya ada pula kelonggaran bagi WNA yang ingin membeli properti karena pajaknya sangat besar.

“Ekstensifikasi WP yang belum terdaftar, terutama pengembang pribadi yang tidak terdaftar agar field of player kita sama,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menegaskan seharusnya pemerintah mempunyai roadmap yang jelas dan realistis dan memetakan sumber-sumber penerimaan pajak.

“Petakan dulu benar-benar sumbernya, jangan asal patok target terus mencari-cari. Kalau tahun ini paling tidak naik 15% dari realisasi tahun kemarin,” ungkapnya.

Selain itu, ide-ide yang sudah bermunculan terkait intensifikasi yang dilakukan pemerintah, sambungnya berpotensi semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi karena mencekik sektor riil. Padahal, dengan ruang fiskal yang cukup akibat pemangkasan subsidi BBM, seharusnya digunakan untuk menstimulus sektor riil, bukan memberikan target pajak yang tidak realistis.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper