Bisnis.com, JAKARTA--Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan penerapan ongkos riset sebagai komponen biaya deductible dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh) badan harus diterapkan dengan konsisten sebagai insentif pengembangan riset oleh dunia usaha.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menuturkan ongkos riset, pelatihan, dan pendidikan harus diperhitungkan sebagai biaya. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam pasal 6 UU tersebut diatur bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Biaya yang dimaksud, termasuk biaya perjalanan, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, serta biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
"Kita mau bicara dengan Kemenkeu agar tidak disusahkan. Hal ini penting, karena kalau R & D tidak didukung oleh pemerintah, tidak ada insentif untuk itu, tidak akan jalan," katanya di Istana Wakil Presiden, Rabu (21/1).
Hariyadi mengatakan selama ini pelaksanaan aturan itu terhambat perbedaan pendapat, sehingga selalu tarik ulur. Tidak jarang komponen yang termasuk dalam regulasi tersebut tidak diakui sebagai deductible.
"R&D itu kan banyak, misalnya untuk biaya perjalanan tidak diakui sebagai biaya R&D padahal penelitian tidak semata-mata di laboratorium," lanjutnya.
Hariyadi menambahkan saat ini porsi biaya R&D yang dialokasikan industri dalam negeri masih relatif kecil.
Pasalnya, riset membutuhkan biaya besar, sehingga tak jarang industri memilih untuk membeli hasil riset pihak ke-3 atau membeli teknologi dari luar negeri.
"Tergantung sektor. Kalau sawit saya perkirakan cukup signifikan bisa sampai 5% untuk R&D. Semakin menggunakan konten lokal, semakin besar R&D-nya," imbuh Hariyadi.