Bisnis.com, BANDUNG — Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) menilai langkah pemerintah untuk mengganti impor grand grand parent stock (GPS) dan grand grand parent stock (GGPS) dengan telur tetas akan sia-sia.
Sekretaris PPUI Ashwin Pulungan mengatakan telur tetas bisa terjangkit virus flu burung karena teknologi yang dipakai pengekspor tidak diketahui oleh pemerintah.
Dia menjelaskan dengan teknologi modern negara pengekspor bisa menyebarkan virus flu burung terhadap telur tetas.
“Negara pengekspor itu hanya berpikir untuk keuntungan. Mereka bisa saja memasukkan virus flu burung terhadap telur tetas, kemudian pura-pura menjual obatnya lagi. Ini kan suatu permasalahan yang kompleks,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (20/1/2015).
Ashwin mencontohkan beberapa waktu lalu Indonesia pernah jaya dengan produksi jeruk garut hingga beberapa negara mencoba mengembangkan bibit komoditas ini agar produksinya lebih meningkat.
Namun, ujar dia, yang terjadi bibit tersebut dicampur virus yang membuat pangsa pasar jeruk garut melenyap.
“Secara tiba-tiba negara itu menawarkan obat virus untuk jeruk garut. Hal ini bisa terjadi pada impor telur tetas,” katanya.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menginvestigasi setiap impor yang dilakukan ke dalam negeri termasuk GPS, GPPS, dan telur tetas.
Ashwin beralasan hingga saat ini langkah investigasi jarang dilakukan pemerintah sehingga hal itu membuat peternak terus merugi.
“Intinya pemerintah harus jeli terhadap pengawasan terhadap impor baik itu GPS, GPPS, maupun telur tetas,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan mengganti bentuk impor GPS dan GGP) dengan telur tetas untuk menghindari resiko terjangkitnya virus H5N8 yang saat ini melanda negara pengekspor.
Sekretaris PPUI Ashwin Pulungan mengatakan telur tetas bisa terjangkit virus flu burung karena teknologi yang dipakai pengekspor tidak diketahui oleh pemerintah.
Dia menjelaskan dengan teknologi modern negara pengekspor bisa menyebarkan virus flu burung terhadap telur tetas.
“Negara pengekspor itu hanya berpikir untuk keuntungan. Mereka bisa saja memasukkan virus flu burung terhadap telur tetas, kemudian pura-pura menjual obatnya lagi. Ini kan suatu permasalahan yang kompleks,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (20/1/2015).
Ashwin mencontohkan beberapa waktu lalu Indonesia pernah jaya dengan produksi jeruk garut hingga beberapa negara mencoba mengembangkan bibit komoditas ini agar produksinya lebih meningkat.
Namun, ujar dia, yang terjadi bibit tersebut dicampur virus yang membuat pangsa pasar jeruk garut melenyap.
“Secara tiba-tiba negara itu menawarkan obat virus untuk jeruk garut. Hal ini bisa terjadi pada impor telur tetas,” katanya.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menginvestigasi setiap impor yang dilakukan ke dalam negeri termasuk GPS, GPPS, dan telur tetas.
Ashwin beralasan hingga saat ini langkah investigasi jarang dilakukan pemerintah sehingga hal itu membuat peternak terus merugi.
“Intinya pemerintah harus jeli terhadap pengawasan terhadap impor baik itu GPS, GPPS, maupun telur tetas,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan mengganti bentuk impor GPS dan GGP) dengan telur tetas untuk menghindari resiko terjangkitnya virus H5N8 yang saat ini melanda negara pengekspor.
Your message has been sent.