Bisnis.com, JAKARTA- Tidak meratanya ketersediaan fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, klinik, dan laboratorium mengakibatkan ketimpangan jumlah klaim program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di beberapa wilayah di Indonesia.
Jumlah klaim JKN di daerah yang memiliki fasilitas kesehatan lengkap terbilang tinggi sedangkan daerah-daerah yang ada dipelosok dengan akses rumah sakit terbatas mengalami situasi rendah klaim.
Hal tersebut tertuang dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).
Penelitian tersebut berdasarkan pengumpulan data dan analisis dari kabupaten atau kota di 12 provinsi pada bulan April 2014, yakni provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, NTT, Kalimantan Timur, Bengkulu, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara.
Pemimpin penelitian sekaligus Pakar jaminan sosial Universitas UGM, Laksono Trisnantoro, memaparkan pembangunan rumah sakit dan fasilitas kesehatan selama empat tahun terakhir berfokus di Pulau Jawa.
Di sisi lain, baru ada 1 rumah sakit baru di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Minimnya fasilitas, baik primer dan sekunder, di area terpencil mengakibatkan masyarakat kesulitan menggunakan fasilitas JKN.
Kami menghitung dari sekitar 5,2 juta orang di NTT total klaim JKN hanya mencapai Rp30 miliar. Jumlah ini sangat berbeda jika dibandingkan total klaim JKN di Jawa Tengah yang mencapai Rp7 triliun. ujarnya dalam diskusi bertema Mencegah memburuknya ketidak-adilan sosial di sektor kesehatan di Jakarta, Rabu (14/1).
Lebih lanjut, dia khawatir anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang seharusnya disalurkan ke kalangan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan PBI justru dinikmati oleh peserta BPJS non-PBI yang tergolong masyarakat mampu dan tinggal di kota besar. Sementara itu, peserta BPJS PBI di daerah tertinggal tidak dapat menyerap dana PBI.
Meski kuota klaim besar, daerah tertinggal tak bisa menggunakan klaim BPJS secara maksimal. Jika masalah ini tidak diselesaikan, sisa dana PIB di provinsi tertinggal bisa digunakan oleh provinsi lain, imbuhnya.
Asih Eka Putri, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, menuturkan ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi ketimpangan jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah tertinggal.
Pertama, pemerintah bisa menginvestasikan dana dengan mendirikan rumah sakit, klinik, puskesmas, dan laboratorium milik negara. Ini artinya, pemerintah harus fokus membangun berbagai fasilitas kesehatan, baik primer dan sekunder, di daerah-daerah yang membutuhkan.
Kedua, pemerintah membuka investasi bagi para investor yang tertarik membangun fasilitas kesehatan lengkap dengan tenaga medis yang siap menangani pasien JKN. Menurutnya, pemerintah bisa memberikan insentif bagi investor yang tertarik membangun fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Membuka akses finansial saja tak cukup. Masyarakat memberi kontribusi dengan menyetor iuran setiap bulan. Makanya, pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana agar manfaat program JKN bisa dirasakan oleh masyarakat secara maksimal, pungkasnya.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, jumlah peserta yang berasal dari pekerja bukan penerima upah (PBPU) per November 2014 mencapai 7.036 juta jiwa sedangkan peserta non PBPU berjumlah 123,6 juta jiwa. Adapun, total peserta PBPU yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan mencapai 1,6 juta jiwa (23%) sedangkan peserta non PBPU berkisar 5,4 juta jiwa (kurang dari 4%). (Bisnis.com)