Bisnis.com, JAKARTA – Program kompensasi sosial kenaikan harga BBM subsidi akan dilanjutkan tahun depan dengan anggaran sekitar Rp14 triliun, naik dari tahun ini Rp6,4 triliun, guna menahan risiko peningkatan angka kemiskinan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2015 beberapa waktu lalu sempat menyebutkan anggaran Rp14 triliun itu diambil dari sebagian hasil penghematan subsidi BBM setelah penaikan harga 18 November.
Kementerian Keuangan berhitung, penghematan dari kenaikan Rp2.000 tiap liter itu mencapai Rp9,4 triliun pada 2014 dan Rp110,2 triliun pada 2015.
Kompensasi itu perlu diberikan untuk kelompok penduduk miskin karena rentan terkena dampak kenaikan harga BBM, terutama dari makanan. Jumlah penduduk miskin yang dilaporkan Badan Pusat Statistik per Maret 2014 mencapai 28,3 juta orang atau 11,25% dari total penduduk.
Adapun tahun ini, pemerintah mengalokasikan Rp6,4 triliun untuk program kartu keluarga sejahtera (KKS) – program serupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) saat kenaikan harga BBM Juni 2013 – yang diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) selama November-Desember.
Tidak ada keterangan rinci soal jumlah penerima dan jangka waktu penyaluran kompensasi Rp14 triliun tahun depan. Saat dimintai keterangan, Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani belum bersedia memberikan penjelasan.
“Itu masih kami bicarakan dengan Kementerian Sosial,” katanya, Senin (29/12/2014).
Dokumen Arah dan Kebijakan Fiskal Jangka Menengah 2015-2019 yang disusun Kemenkeu menyebutkan dampak kenaikan harga BBM diperkirakan akan terdistribusi dalam tiga bulan hingga Januari 2015 sebesar 2,52%, dengan puncak inflasi pada Desember yang mencapai 2,09%. Adapun realisasi inflasi November mencapai 1,5%, lebih tinggi dari proyeksi pemerintah yang 1,18%.
Harga pangan merupakan salah satu komponen yang terpengaruh oleh kenaikan harga BBM. Dalam komponen inflasi yang terjadi pada masyarakat miskin (poverty line), kontribusi pangan mencapai 57% walaupun dalam inflasi umum hanya 25%.
Total jumlah penduduk miskin yang terkena dampak kebijakan ini menurut perkiraan Bappenas mencapai 64,3 juta atau setara dengan 15,5 juta RTS. Mereka terdiri atas pekerja rentan 47,3 juta orang dan masyarakat miskin tanpa aset 17 juta orang.
Pekerja rentan alias masyarakat kurang mampu yang bekerja -- disebut pula penduduk berpenghasilan 40% terbawah -- mencakup pekerja informal perkotaan 22,4 juta; petani gurem 14,3 juta; pekerja industri mikro dan kecil 9,7 juta; dan nelayan 0,9 juta.