Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo perlu memikirkan rencana aksi yang holistik untuk menangani defisit neraca transaksi berjalan. Apalagi, penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang sering disebut sebagai pengalihan anggaran ke sektor produktif tidak menjamin pemulihan neraca tersebut.
Ekonom Institut Pertanian Bogor Iman Sugema mengatakan penaikan harga BBM bersubsidi berpeluang mengurangi defisit APBN tapi tidak akan cukup signifikan mempersempit defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.
"Itu cara berpikir yang salah. Permintaan energi tidak elastis karena sudah menjadi kebutuhan pokok. Jadi harganya naik berapapun, konsumsinya tidak berkurang secara siginifikan," ujarnya, Senin (10/11/2014).
Selama ini, otoritas moneter selalu menyuarakan agar pemerintah segera mengeksekusi penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi untuk memperbaiki tren jebloknya neraca transaksi berjalan akibat tingginya impor minyak.
Menurut Iman dengan konsumsi energi yang tidak terbendung pada akhirnya tetap membuat Indonesia harus mengimpor minyak karena tidak ada pembenahan dari sisi produksi dalam negeri.
Apalagi kondisi tersebut bisa diperparah jika tidak ada eksekusi wacana konversi energi ke gas walau impor tapi harga jauh lebih murah.
Ekonom Megawati Institute itu menyebutkan apakah penjagaan defisit anggaran APBN tak serta merta sejalan dengan defisit neraca berjalan dengan berkurangnya utang luar negeri akibat belenggu subdsidi.
Apalagi dengan konsep pengalihan yang selama ini menjadi tagline pemerintah, pengematan anggaran subsidi tetap digunakan untuk pembiayaan belanja lainnya. Artinya, tidak ada pengurangan defisit.
Dia tidak menampik pembayaran bunga atas utang luar negeri baik swasta maupun pemerintah menjadi penggerogot sisi pendapatan primer, salah satu variabel pembentuk neraca transaksi berjalan. Namun, yang tidak kalah besar, sambungnya, yakni repatriasi keuntungan perusahan multinasional.
Bisa US$26 miliar per tahun. Yang begini-begini tidak bisa dibalik cepat karena mereka punya hak untuk melakukan repatriasi. Jadi modalnya ada di sini, terus mereka mengembalikan keuntungan. Itu sudah puluhan tahun, ungkap dia.
Dari laporan neraca pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, defisit neraca pendapatan primer yang dianggap sebagai pola musiman melebar tiap tahunnya dipengaruhi kenaikan pembayaran dividen atas kepemilikan saham domestik nonresident dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri.
Selain itu, defisit disumbang oleh peningkatan pencatatan keuntungan perusahaan PMA oleh investor asing.
Penyelesaian aspek ini memang tidak bisa dapat langung dapat dirasakan dalam jangka dekat, setidaknya 5-10 tahun. Salah satunya yang bisa dilakukan sebenarnya pembatasan kepemilikan perusahaan oleh asing.
Namun, langkah ini tidak bisa langsung menghasilkan dalam waktu dekat. Jika langkah ini dieksekusi, dia masih khawatir siapa yang akan membelinya. Kondisi ini dikarenakan walaupun ada investor domestik yang membeli dengan rupiah, investor asing tetap akan menukarnya dengan dolar.
Dolarnya dari mana? Sekarang sudah terlalu terlambat untuk mencegah itu. Itu hanya berfungsi untuk mencegah di masa yang akan datang. Justru itu harusnya sudah jauh-jauh hari dilakukan sebelum yang gini-gini itu terjadi. Katanya.
Berbeda, Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan pemerintah harus hati-hati terkait pendapatan primer. Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan aliran dana asing untuk pengembangan pasar modal nasional.
Mau tidak mau, perlu pendalaman pasar keuangan, ujar Peter seperti yang selama ini didengungkan otoritas moneter ketika menanggapi risiko defisit transaksi berjalan.
Menurutnya, masuknya dana asing memang diikuti risiko dana keluar, repatriasi yang besar. Namun, kondisi ini bisa diatasi jika pasar keuangan dalam. Selain itu, pemerintah perlu mencari cara agar investor terus reinvest di Indonesia bukan malah membawa dana keluar. Menurutnya, salah satu langkah yang bisa dilakukan yakni dengan perlakuan pajak dan perbaikan insentif yang lebih bagus.
Sayangnya, ketika Bisnis UU No. 24/2009 tentang Lalu Lintas Devisa, Indonesia termasuk salah satu negara dengan regulasi devisa bebas. Artinya, devisa bisa keluar-masuk meskipun hasil ekspor dari dalam negeri.
Bank Indonesia pun memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI No.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012 yang mewajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang berada di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang.
Namun, lagi-lagi PBI tersebut ternyata tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor karena hanya mengatur pelaporan, tidak adanya kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu.
Menurut Peter yang bisa dilakukan pemerintah saat ini yakni pembenahan sektor ekspor-impor. Dengan penaikan harga BBM bersubsidi, impor minyak akan turun sehingga akan mendorong surplus neraca barang.
Itu yang faktual ada di depan mata. Impor kita yang tinggi, ya kita kurangi, kata dia.
Terlepas dari sisi penekanan impor minyak, Iman Sugema pun sependapat langkah yang bisa dilakukan pemerintah saat ini memang dari sisi neraca barang lewat penggejotan ekspor, pertumbuhan ekonomi yang dipacu ekspor. Itu pun tidak akan berlangsung cepat karena kaitannya dengan daya saing dan permintaan dari pasar global.
Namun, Iman tidak sepakat dengan gembar-gembor pendalaman keuangan yang disasar BI selama ini dengan penarikan pelaku asing di semua lini keuangan. Jika yang bermain hanya investor asing, hanya memecahkan permasalahan jangka pendek.
Itu pun bukan masalah yang sebenarnya. Masalahnya itu bagimana caranya kita menghasilkan dolar itu, bukan mengundang lebih banyak lagi dolar, tegasnya.
Jika pendalaman sektor keuangan lewat peningkatan suplai dolar dari asing pada gilirannya akan tetap rentan pada aliran keluar-masuknya dana. Artinya, adanya penggenjotan ekpor yang menghasilkan devisa serta penyehatan neraca transaksi berjalan secara alamiah akan memperdalam pasar keuangan.