Bisnis.com, JAKARTA -- Terpuruknya ekspor nasional terjadi karena tidak ada prioritas dan fokus beberapa sektor industri andalan dan identitas Indonesia di mata dunia.
Pertumbuhan ekonomi yang terus melambat hingga akhir pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya dijadikan momentum awal Presiden Joko Widodo untuk menemukan kembali prioritas ekonomi di sektor industi yang akan menjadi fokus lima tahun ke depan.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini.
"Harus ada beberapa prioritas dan fokus. Tidak bisa semua sektor jadi prioritas," ujarnya ketika menjadi pembicara dalam sebuah diskusi bertajuk Indonesia 2015 and Beyond: Reinventing Economic Priorities, Kamis (6/11/2014).
Apalagi, lanjutnya, selama ini ekspor Indonesia ditopang komoditas sumber daya alam yang rentan dengan kondisi global.
Bahkan, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) laju pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,01% pada kuartal III/2014 merupakan laju pertumbuhan paling lambat sejak lima tahun terakhir, persisnya kuartal III/2009 4,27%.
Salah satu penekan laju pertumbuhan tesebut yakni perlemahan kinerja eskspor yang belum pulih.
Petumbuhan ekspor kuartal III/2014 terkoreksi 0,7% (year on year), setelah pada kuartal sebelumnya anjlok 1,04%.
Padahal sejak 2010, kecuali pada 2012 saat era commodity boom berakhir, kinerja ekspor selalu menunjukkan geliat positif pada kuartal III/2014.
Seperti diberitakan Bisnis (6/11), Kepala BPS Suryamin mengatakan perlambatan tersebut sejalan dengan konsolidasi ekonomi China dan Jepang, dua negara tujuan ekspor nasional yang pada kuartal sebelumnya hanya tumbuh masing-masing 7,3% dan minus 0,2%.
Andalan ekspor dari bahan mentah, lanjut Hendri, merupakan akibat industri padat karya yang semakin menurun daya saingnya, Sementara industri padat modal pun belum mampu tampil sebagai produk andalan yang kuat di pasar global.
Padahal, berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi seperti Masyarakat Ekonomi Asean, WTO, APEC, RCEP akan dan sedang berlangsung.
Oleh karena itulah, pilihan prioritas dan strategi ekonomi Kabinet Kerja menjadi penentu arah dan posisi Indonesia ke depannya.
Menurutnya, jika salah eksekusi, alih-alih menggenjot pertumbuhan ekonomi berkualitas dan sesuai target APBN 2015 sebesar 5,8%, tingkat kemiskinan dan pengangguran berisiko semakin dalam.
Seperti diketahui, kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin masih menunjukkan tren pelebaran.
Hampir setengah PDB 2013 disumbangkan 20% penduduk berpendapatan tertinggi, 7% lebih besar dibandingkan sumbangan pada 2004.
Sementara, 40% penduduk berpendapatan terendah hanya memperoleh 17% dari kue ekonomi, anjlok dibanding 2009 yang mencapai 21%.
Artinya, bila tren ini berlanjut, dalam lima tahun ke depan sangat mungkin ketimpangan meningkat hingga masuk kategori tinggi.
Hendri mengatakan, dalam menentukan sektor industri yang pantas diprioritaskan, ada empat hal yang harus diperhatikan.
Pertama, prospek atau peluang pasar di luar negeri baik dari nilai maupun pertumbuhannya.
Kedua, kesesusaian potensi domestic yang dimiliki.
Ketiga, tingkat ketergantungan impor.
Keempat, potensi efek berganda terhadap berkembangnya industri pendukung di dalam negeri.
Salah satu industri yang dapat dijadikan prioritas yakni industri alas kaki karena masih tingginya permintaan di pasar dunia, besarnya potensi pasar domestic, dan tingginya penyerapan tenaga kerja domestik dari industri padat kerja ini.
Namun , yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industri ini yakni penggunaan local content.
Selama 1996-2012, rerata penggunaan bahan baku impor untuk industri alas kaki mencapai 51%, jauh di atas rerata penggunaan bahan baku impor nasional 30%.
Ekonom Jawaharlal Nehru University, Jayati Ghosh dalam kesempatan yang sama juga mengatakan perlunya spesifikasi local content untuk meningkatkan hubungan investor asing dengan pelaku industri lokal sehingga pada gilirannya mampu memunculkan daya saing Indonesia.
Tata kelola ekonomi internasional menciptakan banyak kendala tentang pilihan kebijakan industri dan perdagangan yang semestinya bisa di atasi negara secara mandiri, kata dia.