Bisnis.com, JAKARTA - Alih-alih memberikan ruang fiskal dan membenahi fundamental ekonomi, kenaikan harga bahan bakar minyak tahun ini berpotensi semakin memperburuk sektor manufaktur.
Sektor penyerap tenaga kerja terbanyak itu makin terpuruk jika eksekusi hanya didasarkan pada kejar tayang urusan politis tanpa mempertimbangkan jaring pengaman yang kuat.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan jika berdasar urusan politis tidak memerlukannya izin DPR untuk kenaikan harga tahun ini tanpa hitungan ekonomi yang matang, langkah itu justru akan memperburuk sektor riil khususnya manufaktur di tengah perlambatan ekonomi nasional.
Apalagi, lanjutnya, pada kuartal III/2014, pertumbuhan ekonomi diproyeksi masih melambat di kisaran 5%-5,1% karena perlambatan sektor pertambangan, pertanian, dan industri.
"Kenaikan harga [BBM bersubdisi] pasti akan menaikkan harga bahan baku pada gilirannya input akan lebih mahal," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Selasa (4/11/2014).
Menurut Enny, selain harga bahan baku yang akan naik, pekerja pun akan cenderung meminta kenaikan upah minimum sehingga akumulasi kondisi tersebut membuat structure cost atau biaya input akan lebih tinggi.
Kondisi tersebut membuat investor atau produsen cenderung menge-rem produksi barangnya karena daya beli masyarakat dipastikan menurun dengan adanya kenaikan BBM bersubsidi.
Tren semakin lesunya industri manufaktur nasional yang masih berlangsun hingga saat ini pada akhirnya bisa terus berlanjut. Kondisi itu tergambar dari data terbaru Badan Pusat Statistik yang menunjukkan impor bahan baku/penolong jangka Januari-September tahun ini hanya mencapai US$102,8 miliar atau anjlok 3,8% dari tahun lalu US$106,8 miliar.
Impor barang modal pun melanjutkan penurunan 6,9% setelah tahun lalu anjlok 16,9% menjadi US$23,7 miliar. Pada saat yang sama, kinerja industry pengolahan kuartal III/2014 melambat dengan pertumbuhan mendekati 5%. Setahun lalu, manufaktur melesat 6,8%.
Menurutnya, seharusnya ada pembenahan tata kelola migas yang lebih baik serta jaminan penjagaan inflasi atau kenaikan harga bahan baku sebelum mengeksekusi kenaikan harga BBM bersubdisi. Jika tidak, sektor riil akan kembali tertekan hingga pada gilirannya pengangguran dan kemiskinan akan meningkat.
Enny juga meminta pemerintah dapat menjamin tepatnya sasaran kompensasi bantuan langsung lewat Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS) yang diluncurkan awal pekan ini. Kondisi ini dikarenakan basis data yang digunakan masih dari pendataan program perlindungan sosial 2011 walaupun pemerintah mengklaim telah melakukan validasi enam bulan sekali oleh Kementerian Sosial. (Bisnis, 4/10).
Seperti diberitakan sebelumnya, Mensos Khofifah Indar Parawansa mengatakan dari olah data yang dilakukan, pihaknya menemukan lebih dari 14.000 lebih penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS)--sekarang diganti oleh Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) melalui PSKS--yang sudah tak diketahui alamatnya. RTS yang hilang itu kemudian diperbaharui dan diganti dengan RTS lain yang memenuhi persyaratan.