Bisnis.com, JAKARTA -- Siklus keuangan Indonesia atau SKI terindikasi memasuki fase perlambatan seiring ekspansi kegiatan pembiayaan yang cenderung menurun.
Hasil estimasi Bank Indonesia menunjukkan perlambatan disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan kredit sebagai salah satu indikator utama pembiayaan perekonomian domestik.
Perlambatan siklus keuangan yang terjadi bersamaan dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan global ke depan, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan.
"Sumber-sumber pembiayaan ekonomi pada tahun-tahun mendatang dapat menjadi relatif terbatas," demikian pernyataan Bank Indonesia yang dirilis, Selasa (28/10/2014).
Perbankan domestik memerlukan tambahan modal atau likuiditas dengan loan to deposit ratio (LDR) yang telah mencapai 89,7% per September 2014. Sementara pembiayaan dari utang luar negeri (ULN) yang dalam dua tahun terakhir naik tinggi mulai mengalami perlambatan.
Volatilitas nilai tukar yang meningkat dalam dua tahun terakhir menaikkan risiko nilai tukar sehingga ikut mengurangi ULN. ULN pada Agustus 2014 tumbuh 11,2% (year on year) mencapai $290,37 miliar.
Kenaikan ULN tersebut terutama terjadi di sektor swasta yang selama dua tahun terakhir melonjak dari sekitar US$126,3 miliar pada 2012 menjadi US$156,2 miliar pada Agustus 2014. Dengan demikian, pangsa ULN swasta telah mencapai 54% dari total ULN.
Memperhatikan perkembangan itu, BI mengelola pergerakan siklus keuangan melalui kebijakan makroprudensial. Sebagian dari kebijakan itu, menurut BI sudah mulai menampakkan hasil pada perilaku amplitudo siklus keuangan.
Sebagai contoh, kedalaman penurunan siklus keuangan 2005-2009 lebih rendah dibandingkan dengan krisis sekitar 1998. Begitu pula dengan durasi peak-through pada siklus keuangan 2005-2009 yang lebih pendek dari durasi siklus ketika terjadi krisis ekonomi-moneter 1997/1998.
Dalam rangka memperkuat kehati-hatian di sektor korporasi dan memperdalam pasar keuangan valas, BI akan segera menyempurnakan aturan ULN. Aturan tersebut ditujukan untuk memperkuat ketahanan korporasi yang memiliki ULN, terutama dengan memitigasi risiko currency mismatch, liquidity mismatch, dan risiko overleverage.
Selain itu, adanya kewajiban melakukan "hedging" diharapkan dapat meningkatkan penggunaan transaksi lindung nilai sehingga pasar valuta asing menjadi lebih dalam dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat diminimalkan.
"Dengan demikian, ketahanan korporasi dan stabilitas sistem keuangan menjadi lebih baik dalam menghadapi risiko yang mungkin ditimbulkan dari perlambatan siklus keuangan dan dinamika perekonomian global."
Dalam rilis itu, BI pun menyampaikan pengelolaan makroekonomi dengan hanya berdasarkan siklus bisnis atau naik turunnya pertumbuhan ekonomi tidak cukup, jika belajar dari beberapa krisis sebelumnya. Seringkali, risiko justru timbul dari pergerakan boom-bust siklus keuangan yang tidak selalu sama dengan siklus bisnis.
Sebelum terjadi krisis keuangan global 2008, kebijakan makroekonomi, termasuk moneter, sering terpaku pada siklus pertumbuhan ekonomi atau siklus bisnis. Siklus bisnis lebih sering diamati dalam kebijakan makroekonomi dan moneter.
Kadang, siklus bisnis sudah mengalami fase turun, sedangkan siklus keuangan masih mengalami fase meningkat. Luputnya bank sentral di dunia dalam mengawasi dinamika siklus keuangan dituding sebagai penyebab krisis keuangan global 2008.
Dalam hal ini, kebijakan bank sentral menurunkan suku bunga sejalan dengan pencapaian inflasi yang rendah justu dapat memicu risk taking atau perilaku mengambil risiko berlebih pada sektor yang spekulatif dengan motivasi mencari imbal hasil yang tinggi.