Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MEA 2015: Industri Elektronika Waspadai Persaingan Dagang dan Jasa

Industri elektronik nasional tidak hanya perlu mewaspadai persaingan dagang di era pasar bebas Asean tetapi juga kompetisi di sektor jasa yang semakin ketat.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--Industri elektronik nasional tidak hanya perlu mewaspadai persaingan dagang di era pasar bebas Asean tetapi juga kompetisi di sektor jasa yang semakin ketat. 

Kedua sektor tersebut akan ditransaksikan secara bebas mulai akhir 2015. Pasalnya, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memandatkan liberalisasi 128 subsektor jasa yang tercapai pada 2015 dengan jadwal tertentu.

Ratusan subsektor jasa tersebut dipadatkan menjadi 12 bidang jasa a.l. bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan dan sosial, pariwisata, rekreasi dan budaya, transportasi, serta beberapa sektor lain.

“Yang saya khawatirkan, jasa kita tidak dapat pasar, perdagangan juga tidak dapat. Jadi selama MEA kita hanya menjadi lapak dagang saja,” ucap Dirjen Kerja sama Industri Internasional Kemenperin Agus Tjahajana, Kamis (9/10/2014).

Berdasarkan data Kemenperin selama 2010 daya saing produk komponen elektronika nasional hanya mampu mengungguli empat negara Asean, yakni Brunei, Myanmar, Vietnam, dan Laos. Lebih parah lagi produk IT dan consumer electronic cuma lebih baik dari dua negara, yaitu Myanmar dan Brunei.

Presiden Komisaris PT Panasonic Gobel Indonesia Rahmah Gobel berpendapat secara keseluruhan industri elektronika belum siap menghadapi MEA pada akhir tahun depan. Pasalnya selain daya saing yang relatif masih rendah juga ketergantungan terhadap impor yang tak sedikit.

"Misalnya kulkas, kompresornya itu kita masih impor. Produk yang canggih sekarang impor komponennya hampir 80%,” katanya.

Impor barang jadi lebih murah ketimbang memproduksi di dalam negeri bukan persoalan baru yang dihadapi industri. Menurut Rahmat, penyelesaian masalah ini terletak pada sejauh mana komitmen pemerintah untuk meningkatkan basis produksi di Tanah Air.

Selama ini produsen elektronika cenderung hanya melakukan proses perakitan di Indonesia. Komponen yang dirakitpun bukan buatan industri domestik melainkan impor khususnya untuk produk berteknologi tinggi. Fasilitas produksi yang dibangun tidak benar-benar membuat basis produksi dari hulu sampai hilir.

“Pemerintah mengundang investasi asing itu setengah hati. Tapi sekarang sudah tidak bisa kita kritisi melainkan bagaiamana mengatasi masalah ini,” kata Rahmat.

Ketua Umum Gabel Ali Soebroto mengatakan salah satu hal yang menghambat kinerja industri elektronika adalah aturan pajak dan bea masuk impor bahan baku. Padahal impor utuh tak dikenai tarif, sedangkan harga bahan baku domestik sendiri dirasa lebih mahal ketimbang impor.

“Bijih plastik untuk ponsel itu bea masuknya 12%, dikenakan PPH 7,5%. Padahal kalau impor utuh bea masuknya nol,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dini Hariyanti
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper