Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Izin Impor AC Tak Kunjung Terbit, Sharp Berpotensi Rugi Rp200 Miliar

PT Sharp Electronics Indonesia memperkirakan pasokan AC sejauh ini masih didominasi oleh produk impor dengan pangsa pasar mencapai 80 persen.
Pabrik Pusat Sharp Electronics Indonesia - Karawang. Istimewa/Sharp
Pabrik Pusat Sharp Electronics Indonesia - Karawang. Istimewa/Sharp

Bisnis.com, JAKARTA – Belum terbitnya persetujuan impor (PI) untuk importasi pendingin ruangan atau air conditioner mengganggu kinerja penjualan perusahaan elektronika PT Sharp Electronics Indonesia (SEID).

Pemerintah diminta mengambil langkah tepat untuk mencegah terjadinya kerugian lebih serius sebagai imbas dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga.

Nihilnya izin impor setidaknya membuat SEID harus siap merugi lebih dari Rp100 miliar yang berasal dari potensi penjualan yang hilang sepanjang Oktober. Jika berlanjut sampai November, kerugian ditaksir bisa menembus Rp200 miliar.

National Sales Senior General Manager SEID Andry Adi Utomo mengemukakan bahwa perusahaan sejatinya telah mengajukan permohonan PI untuk importasi setahun ke depan, tidak lama setelah beleid tersebut berlaku. Tetapi dua bulan berselang, lampu hijau dari Kementerian Perdagangan tak kunjung terbit.

“Sampai saat ini SEID belum mendapatkan PI untuk impor AC. Akibatnya penjualan pada September hanya mengandalkan stok sisa, sementara di Oktober tidak ada tambahan stok,” kata Andry saat dihubungi, Selasa (10/11/2020).

Andry pun menyoroti implementasi beleid yang cenderung cepat dan tidak diiringi dengan sosialisasi yang optimal. Permendag 68/2020 tercatat diundangkan pada 25 Agustus 2020 dan mulai berlaku 3 hari setelahnya. Dia pun mengaku bahwa kondisi ini mengakibatkan terganggunya pasokan yang berimbas pada harga AC di pasaran.

Dia menyebutkan pasokan AC sejauh ini masih didominasi oleh produk impor dengan pangsa pasar mencapai 80 persen. Sebaliknya, AC produksi dalam negeri baru bisa memenuhi kebutuhan di kisaran 20 sampai 25 persen dari total kebutuhan 1,8 juta unit per tahunnya.

“Karena pasokan yang berkurang otomatis harga di pasaran langsung terkerek, bisa sampai 5 persen, padahal permintaan sedang baik karena lebih banyak masyarakat yang beraktivitas di rumah,” lanjutnya.

Izin yang tak kunjung terbit ini pun dinilai Andry bisa memicu praktik penyelundupan karena kebutuhan di dalam negeri yang besar. Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah dapat mengambil jalan tengah dalam mengurai permasalahan ini.

“Setidaknya pemesanan untuk tiga bulan ke depan diizinkan terlebih dahulu karena pabrik pemasok sudah protes dan akan memberikan penalti karena tidak bisa kirim,” tuturnya.

Selain itu, dia pun mengharapkan pemerintah dapat memberikan tenggat waktu yang ideal agar perusahaan bisa menyesuaikan ketentuan baru dalam importasi. Andry mengatakan bahwa SEID sejatinya selalu mendukung rencana pemerintah untuk mengurangi impor, perusahaan bahkan telah berinvestasi besar di Indonesia.

“Jika pemerintah ingin kami berinvestasi, maka beri kami waktu untuk membangun pabrik dan selama proses pembangunan tersebut, beri kami kesempatan untuk tetap mengimpor sampai pabrik siap,” ujar Andry.

Sebagaimana diketahui, penerbitan Permendag Nomor 68 Tahun 2020 dilakukan guna menekan importasi pada ketiga kelompok yang diatur regulasinya. Pada Mei—Juni 2020, Kemendag melaporkan terjadi kenaikan impor barang konsumsi sebesar 50,64 persen dengan produk berupa tank, makanan dan minuman, alas kaki, elektronik, dan sebagainya.

Bahkan, terdapat beberapa barang yang nilai pertumbuhannya di atas 70 persen. Untuk itu, Kemendag menilai perlu melakukan pengaturan impor terhadap barang-barang tersebut.

Sebelumnya, importasi komoditas alas kaki dan elektronik diatur dalam Permendag Nomor 87 Tahun 2015 jo Permendag Nomor 28 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.

Dalam aturan tersebut, importir hanya dikenai kewajiban penyertaan Laporan Surveyor (LS) dan mekanisme pemeriksaan dokumen impor dilakukan setelah melewati kawasan pabean (post border). Sedangkan, untuk komoditas sepeda sebelumnya tidak diatur tata niaga impornya.

Dengan Permendag Nomor 68 Tahun 2020 ini, para pelaku usaha wajib memiliki PI dan LS untuk pemenuhan persyaratan impor komoditas tersebut.

Selain itu, mekanisme pengawasan yang dilakukan juga mengalami perubahan, yang semula dilakukan di luar kawasan pabean (post border), kini dilakukan di kawasan pabean (border).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper