Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memberikan sejumlah catatan merah yang masih menghantui industri elektronik jelang pasar bebas Asean 2015.
Berdasarkan data Bank Dunia 2014 yang diolah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada posisi ekspor produk elektronika ke Asean US$593,2 miliar, RI tetap mengalami defisit. Nilai ekspor tersebut bahkan jauh di bawah Singapura dan Malaysia.
Singapura dan Malaysia masing-masing membukukan ekspor ke Asean US$6,28 miliar dan US$2,54 miliar. Pasokan ekspor RI ke Asean hanya 22%, sedangkan Singapura mencapai 31,8% dan Malaysia 26,8%.
Dirjen Kerja sama Industri Internasional Kemenperin Agus Tjahajana mengatakan secara global ekspor elektronika dari Indonesia hanya menduduki peringkat ke-29 dunia. Padahal Singapura mencapai urutan ke-5, Malaysia ke-10, dan Thailand ke-14 sepanjang tahun lalu.
“Variasi ekspor kita harus meningkat. Populasi kita separuh dari Asean tetapi Singapura yang lebih kecil bisa menikmati sebesar itu,” tuturnya, Kamis (9/10/2014).
Peringkat ke-29 yang ditempati RI setara dengan perolehan ekspor sepanjang tahun lalu yang hanya US$10,4 miliar. Sementara Singapura membukukan US$124 miliar, Malaysia meraup US$60,7 miliar, Vietnam US$38,4 miliar, Thailand US$29,5 miliar, dan Filipina US$20,3 miliar.
Perlu diketahui Global Competitiveness Index (GCI) Negeri Garuda soal besaran pangsa pasar pada 2014 – 2015 adalah yang terbaik di Asean, alias potensi pasar RI yang terbesar. Tapi kalau berbicara soal efisiensi pasar tenaga kerja Indonesia adalah yang terburuk dengan menduduki peringkat ke-9.
Catatan merah lain menyangkut kemudahan bagi pelaku usaha menjalankan bisnis di Tanah Air. Bank Dunia mencatat selama 2013, negara ini berada di urutan ke-128 dari 189 negara, sedangkan pada tahun ini cuma membaik ke ranking 120.
Ekonomi dari Universitan Indonesia Faisal Basri berpendapat MEA bagi industri elektronika selayaknya disikapi sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing sekaligus untuk memperdalam struktur industri. “Indonesia harus melangkah ke depan, tidak bisa mundur lagi,” katanya.
Sejauh ini, imbuh dia, RI harus tetap berada di jalur perekonomian terbuka dan menghargai komitmen yang sudah disepakati terutama dengan Asean. MEA harus bisa dilihat sebagai peluang untuk menarik lebih banyak investasi berbekal potensi pasar domestik yang besar.
Kemenperin sudah menginventarisir permasalahan dasar untuk memperbaiki daya saing RI di pasar bebas Asean a.l. tingginya biaya modal, energi, tenaga kerja, dan logistik, ditambah minimnya ketersediaan bahan baku.