Bisnis.com, JAKARTA -- Penanaman modal di sektor industri pengolahan nonmigas pada tahun pertama era kepemimpinan Jokowi-JK diproyeksikan menyentuh Rp270 triliun.
Nilai ini merupakan akumulasi dari investasi dalam negeri dan asing.
Namun, Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Industri dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Perindustrian Erna Zetha mengatakan angka tersebut belum pasti tercapai.
Realisasi investasi bisa di bawah Rp270 triliun atau mungkin melampaui itu.
“Bagaimana pemerintah Jokowi-JK mengatasi tiga masalah pokok, itu akan berdampak terhadap realisasi investasi,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (1/10/2014).
Permasalahan pokok yang dimaksud, pertama soal sikap pemerintah terhadap subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Kedua, menyangkut upaya menekan defisit transaksi berjalan sekaligus penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Ketiga, mengenai utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2015.
Ketertarikan investor juga terpengaruh fasilitas fiskal yang dijajakkan pemerintah.
Pasalnya, investasi di hulu pada umumnya memerlukan kelongggaran perpajakan untuk mengkompensasi hambatan dari segi infrastruktur.
“Investor dari luar maupun dalam negeri kalau masuk itu akan melihat kredibilitas perekonomian domestik,” ucap Erna.
Kementerian Perindustrian meyakini investasi pada tahun depan bakal lebih baik ketimbang 2014.
Pasalnya, tahun ini industri dibayangi keraguan lantaran ada suksesi pemerintahan.
Kendati demikian, investasi pada 2015 tetap tak setinggi tahun lalu.
Pada tahun ini Kementerian Perindustrian menargetkan aliran investasi ke industri nonmigas hanya Rp210 triliun, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Nilai ini turun sekitar 14% dibandingkan tahun lalu Rp244 triliun.
Pada paruh pertama 2014, target investasi tercapai Rp105,3 triliun, baik PMDN maupun PMA.
Kontribusi utama berasal dari sektor makanan dan minuman sekitar 35%, disusul otomotif 17%, pengolahan karet 14,6%, serta sektor kimia dan farmasi sekitar 8% - 9%.
Target PMA industri pengolahan nonmigas pada tahun ini dipatok US$12,7 miliar, sedangkan PMDN sekitar Rp52 triliun.
Realisasi terhadap investasi asing lebih dari 50% senilai US$6,7 miliar, sedangkan penanaman kapital dari dalam negeri Rp23 triliun.
“Investor dalam berinvestasi sudah memproyeksikan, termasuk tahun ini diketahui sebagai tahun politik. Di tahun politik mereka biasanya memang tidak jor-joran,” ucap Erna.
Kemenperin menargetkan Indonesia layak disebut sebagai negara industri pada 2035.
Guna meningkatkan pertumbuhan industri diperlukan penguatan di berbagai sisi.
Oleh karena itu disusunlah Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) selaku amanat dari UU No.3/2014 tentang Perindustrian.
RIPIN mencakup sasaran pembangunan industri, pembangunan sumber daya industri, pemberdayaan industri, perwilayahan industri serta sarana dan prasarana industri.
Pedoman ini ditujukan untuk memperkuat posisi industri sebagai penggerak perekonomian nasional.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menargetkan pembahasan RIPIN bisa tuntas sebelum masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu jilid II berakhir.
“Industri yang diutamakan seperti otomotif, elektronik, dan baja. Pokoknya industri dasar yang mensubstitusi impor,” tuturnya.
RIPIN adalah rencana pemerintah untuk 20 tahun mendatang.
Bersamaan dengan RIPIN ada lima rancangan peraturan pemerintah (RPP) amanat UU Perindustrian sedang dikebut a.l. RPP tentang Kewenangan Pengaturan yang Bersifat Teknis untuk Bidang Industri Tertentu, Perizinan Industri, Pembangunan Sumber Daya Industri dan Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri.
Sejalan dengan itu akan dibentuk Komite Industri Nasional (KIN). KIN diposisikan sebagai jembatan antara kebijakan di Perindustrian dengan kementerian lain, termasuk Kementerian Keuangan yang selama ini kerap berbeda pandangan.