Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Kakao Bernilai Tambah: Ini Hambatan Yang Menghadang

Peluang peningkatan ekspor produk kakao bernilai tambah berkat adanya Peraturan Menteri Pertanian No.67/2014 dikhawatirkan tidak akan mampu diraih.

Bisnis.com, JAKARTA—Peluang peningkatan ekspor produk kakao bernilai tambah berkat adanya Peraturan Menteri Pertanian No.67/2014 dikhawatirkan tidak akan mampu diraih.

Kondisi itu mungkin saja terjadi selama tidak ada sinergi antarkementerian untuk memperbaiki industri kakao di level hulu.

Apalagi, produksi kakao pada tahun ini diproyeksi mengalami defisit, alias berbanding terbalik dengan kapasitas giling industri pengolahan.

Hal tersebut menjadikan permentan tersebut masih sulit diimplementasikan meski sudah diterbitkan empat bulan yang lalu.

“Ekspor pasti akan menurun, karena [perkebunan kakao mengalami] shortfall produksi saat ini. Kapasitas grinding melebihi total produksi,” tegas Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang ketika dihubungi, Rabu (17/9).

Agar tujuan dari regulasi—yang harus sudah diimplementasikan secara utuh pada Mei 2016—tersebut tercapai, dia berpendapat tiga kementerian teknis harus lebih selaras dalam mengoordinasikan penerapan aturan itu.

“Perlu koordinasi Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian agar permentan ini jalan. Kalau tidak ada koordinasi dan penalti yang tegas, ya nanti akan terjadi permainan antara pelaku industri dan pedagang atau petani,” tegasnya mengingatkan.

Sekadar catatan, otoritas pertanian melansir Permentan No.67/2014 tentang persyaratan mutu dan pemasaran biji kakao pada Mei.

Melalui regulasi itu, pemerintah berniat mendesak petani untuk menjual hanya kakao yang sudah difermentasi kepada industri pengolahan.

Selain itu, ekspektasi ideal dari peraturan tersebut adalah memperbaiki kualitas produk kakao Indonesia agar mampu berkompetisi di pasar internasional.

Dengan kata lain, hanya produk kakao berkualitas yang boleh diekspor dari Tanah Air per Mei 2016.

Bagaimanapun, Zulhefi menilai permentan tersebut sulit diejawantahkan mengingat mutu kakao Indonesia masih rendah dan sulit memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2323:2008/2010.

Kendala lainnya adalah sulit untuk memaksa petani membuat kakao berfermentasi.

“Siapa nanti yang akan melakukan pengawasan di daerah produksi yang sangat luas? Sementara itu, siapa juga yang mengkaji tenaga pengawas di lapangan?” tanyanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper