Pekan lalu, tak ada yang berbeda dari aktivitas sehari-hari nelayan di kampung Marunda, CIlincing, Jakarta Utara pada siang itu.
Yang menarik perhatian, tentu pemandangan antrean warga bertelanjang kaki yang bersama-sama sedang mendorong gerobak. Gerobak yang didorong mampu memuat enam sampai delapan jerigen sekali angkut. Saat itu, mereka tampak tertib menunggu giliran operator pengisian bahan bakar untuk memindahkan selang solar kedalam jerigen mereka.
“Seperti biasa begini,”kata Agus, si operator pengisian solar packed dialer nelayan (SPDN) sambil mengecek pass berbentuk buku tipis yang disodorkan pada pendorong gerobak. Pass tersebut berisi rekam jejak kapal nelayan selama mengisi bahan bakar. Tanpa pass, para pendorong gerobak tidak bisa mendapatkan solar subsidi seharga 5.500, atau dengan kata lain tidak dapat memasok BBM kepada kapal yang mempekerjakan mereka.
Semakin siang, antrean menipis. Agus yang juga tergabung dalam kelompok nelayan mengaku tidak ada yang berbeda di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing setelah dia mendengar kabar pembatasan subsidi BBM 20% untuk nelayan dari televisi. “Masih sama seperti ini, biasa aja. Cuma kalo perubahan kuotanya saya gatau, tanya aja sama bos."
Selama ini, kata Agus, SPDN Cilincing selalu mendapatkan 16 tangki dari Pertamina per bulannya. “Cukup, engga pernah kekurangan disini. Enggak tau deh kedepannya, harapannya sih engga ada masalah,” tuturnya.
Hal tersebut juga diamini Nadi, nelayan lokal yang melaut dengan kapal bertonase 4 gros ton (GT). Sampai saat ini, dia masih membawa pulang tangkapan normal berkisar 20-50 kilogram sehari, “Kalo solar belum ada keluhan, masih cuaca aja sih yang mempengaruhi tangkapan,” katanya.
Namun dia berharap tidak ada masalah untuk semua nelayan terkait aturan baru BPH Migas nomor 937/07/Ka BPH/2014 itu,”Maunya sih enggak langka. Biasanya kalau langka, harga jadi naik. Sementara biaya untuk melaut besarnya dari BBM itu,” katanya.
Aturan pengurangan subsidi bagi nelayan hingga 20% mulai dijalankan sejak 4 Agustus lalu. Dalam surat edaran tersebut, jelas tertulis alokasi solar bersubsidi untuk nelayan sampai akhir tahun tetap diutamakan untuk nelayan dengan kapal dibawah 30 GT.
Dengan adanya pengurangan ini, KKP mencatat seharusnya masih ada 900.000 KL yang tersedia hingga akhir tahun, setelah realisasi dari Januari-Juli tahun ini mencapai setengah dari subsidi yang diberikan pemerintah sebesar 1,8 juta KL. Setelah dikurangi seperlima, jatah subsidi nelayan yang tersisa mencapai 720ribu KL sampai akhir tahun.
Jika dilihat dari data yang diberikan KKP, realisasi subsidi BBM untuk kapal dibawah 30 GT sejak Januari-Juli tahun ini 548.547 KL. Realisasi tersebut masih lebih rendah dari kuota subsidi yang diutamakan untuk nelayan kecil hingga 5 bulan kedepan sebesar 720ribu KL.
Meski demikian, beberapa pihak tetap mempertanyakan pengurangan subsidi untuk sektor nelayan yang dinilai tidak adil. Pasalnya penurunan subsidi nasional hanya 4,17 %, tepatnya 48 juta KL menjadi 46 juta KL.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, misalnya, yang heran pengurangan subsidi yang tak lebih dari 5% secara nasional harus mengorbankan kegiatan nelayan hingga 20%.
“Kalau dihitung kan pengurangan subsidi nasional hanya 4,17%, ya kalau mau dikurangi 4,17% juga dong jangan 20%,” tuturnya
DILEMATIS
Menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri masalah ini memang dilematis karena pemerintah memang harus melakukan pengetatan untuk mengendalikan pemakaian BBM. Akan tetapi aturan yang diberikan pada nelayan dirasa salah sasaran.
“Komposisi subsidi BBM itu 97% untuk transportasi darat, dan 3% nya untuk laut. Untuk nelayan hanya 2% nya saja. Dari kebutuhan itu dikurangi 20%, sementara yang transportasi darat banyak pengguna yang seharusnya tidak merasakan subsidi,” papar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut.
Yang ditakutkan Rokhmin, karena nelayan diatas 30GT akan mengurangi jangkauan melautnya ditakutkan pencurian ikan di wilayah Indonesia akan semakin masif, “Kita berdekatan dengan negara tetangga yang nelayannya disubsidi. Dengan pengurangan subsidi, aktivitas nelayan di laut sendiri jadi lebih sepi, jika dibiarkan pencurian akan terjadi semakin massif yang dalam jangka panjang bisa membuat industri pengolahan hasil perikanan akan gulung tikar."
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Gelwyn Yusuf mengatakan jangan hanya menganggap nelayan adalah yang melaut dengan kapal dibawah 30 GT saja, karena yang diatas 30 GT juga merupakan buruh nelayan yang upah melautnya berdasarkan sistem bagi hasil.
Menurutnya, salah satu solusi dengan mencari titik proporsional dalam pengalokasian BBM bersubdisi kepada kedua jenis kapal tersebut, “Penuhi dulu kuota sisa untuk para nelayan kecil, kemudian sisanya baru dibagi untuk sekian kapal diatas 30GT,” katanya.
Berdasarkan data KKP, dengan kuota 720ribu KL sampai akhir tahun alokasi BBM bersubsidi yang ideal untuk kapal dibawah 30 GT sebesar 391.819 KL, sedangkan untuk diatas 30GT menjadi 328.000 KL.
Namun, alokasi subsidi dalam usulan awal tahun oleh KKP kepada pemerintah untuk kapal diatas 30 GT sebesar 1.254. 781 KL dinilai sangat tinggi dibandingkan dengan penyerapannya yang sampai bulan Juli hanya 351.543 KL. Jika dijumlahkan dengan perubahan setelah pengurangan subsidi, jatah kapal diatas 30 GT selama setahun hanya berkisar 679.543 KL, atau setengah dari usulan awal.
Maka menurut Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pemenuhan kuota solar bersubsidi untuk kapal diatas 30 GT tidak diperlukan. Pertama, dia mengatakan karena defisit neraca perdagangan dan pembiayaan negara yang semakin besar.
“Kedua, untuk mendorong partisipasi pengusaha perikanan dengan kapal diatas 30GT guna mencapai efisiensi dan efektifitas produksi. Dan terakhir, mencegah terus berlanjutnya kebocoran dan ketimpangan pemanfaatan subsidi BBM yang selama ini lebih dinikmati kapal-kapal besar ketimbang kapal kecil,” katanya.
Bahkan, dia mengatakan sebaiknya KKP menghentikan izin pemberian solar bersubsidi untuk kapal diatas 30 GT.
Proyeksi Solar Bersubsidi Untuk Nelayan
Usulan (KL/tahun) | Jumlah Kapal | Penyerapan s.d Juli 2014 (900.000 KL) | Sisa Kebutuhan Agustus-Desember (berdasarkan sisa kuota 720 KL) | |
<30 GT | 940.366 | 391.000 | 548.547 | 391.819 |
>30 GT | 1.254.781 | 3.347 | 351.453 | 328.181 |
Total | 2.195.147 | 394.347 | 900.000 | 720.000 |
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP