Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan tarif listrik yang juga memengaruhi industri makanan dan minuman tidak membuat sektor ini menaikkan harga produk makanan, khususnya makanan olahan. Apalagi di tengah momentum puasa dan menjelang Lebaran seperti ini.
“Kami berkomitmen untuk tidak menaikkan harga sampai Lebaran dulu, setelah itu akan dilihat perkembangannya nanti seperti apa. Kalau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp13.000-Rp14.000 baru itu bahaya,” jelas Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman di Jakarta, Minggu (13/7/2014).
Namun, menurut Adhi, untuk pangan segar yang memiliki kadaluarsa singkat sekitar 3 pekan itu masih wajar bila ada kenaikan harga. Paling tidak sekitar 20%. “Itu wajar saja, tahun lalu naikknya 50%-70%.”
Saat ini, Gapmmi tengah menghitung dan mengkalkulasikan harga pokok tertinggi. Dia berharap tidak akan terjadi gejolak harga.
Sementara itu, Menperin M.S Hidayat mengatakan selain mengantisipasi peningkatan permintaan, setiap Lebaran biasanya ada toleransi kenaikan harga sekitar 5%-10%.
“Tetapi saya minta agar kenaikan harga ini tidak dijadikan standar harga yang baru. Jadi, khusus pada Lebaran saja serambi memberikan kesempatan juga pada petani untuk menikmati Lebaran.”