Bisnis.com, BANDUNG -- Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah diberlakukan sejak awal Mei dan Juli lalu mulai berdampak pada peningkatan harga jual produk serat fiber sebesar 13,4% atau sebesar US$0,25/kg dari US$ 1,5/kg menjadi US$1,75/kg.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswasta mengatakan listrik memiliki kontribusi sebesar 20-25% dari total biaya produksi.
"Kenaikan TDL otomatis meningkatkan beban produksi, mau tidak mau industri harus menaikkan harga jual produk serat sintetis," kata Gita kepada Bisnis, Jumat (4/6).
Kekhawatiran Gita bertambah mengingat tren harga kapas dunia yang menurun membuat produsen tekstil beramai-ramai beralih ke bahan baku kapas yang lebih murah dibanding bahan baku serat sintetis.
"Hal tersebut berdampak pada harga serat sintetis di pasar global ikut menurun akibat berkurangnya permintaan pasar," katanya.
Menurutnya, saat ini terjadi penurunan produksi yang disebabkan kenaikan beban produksi dan banjirnya produk impor yang harganya lebih murah. Akibatnya perusahaan serat sintetis harus menurunkan angka produksi hingga 3%.
“Industri serat sintetis termasuk sektor yang memiliki daya saing lemah terhadap produk impor, harga naik 5% saja industri di bawah akan lebih memilih produk dari Tiongkok yang harganya sedikit lebih murah,” kata Redma.
Kenaikan TDL membuat sektor hilir industri tekstil harus menaikkan harga jual produk mereka.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengaku kenaikan TDL secara bertahap tiap dua bulan yang dimulai per tanggal 1 Juli lalu membuat industri tekstil terancam jika tidak menaikkan harga produk mereka.
"Cara satu-satunya adalah dengan menaikkan harga produk tekstil, namun pasti pasar tidak akan mudah menerima kenaikan harga," ujar Ade.
Dalam perhitungannya, harga produk akhir terpaksa dinaikkan 30% meski Ade mengimbau industri untuk mempertimbangkan beberapa hal salah satunya apakah kenaikan harga dapat diterima pasar atau tidak.
"Yang saya takutkan jika pasar lokal tidak bisa menerima dan lebih memilih produk tekstil impor yang harganya lebih murah," ungkap Ade.
Menurut Ade, listrik yang merupakan komponen penting dalam industri tekstil memiliki kontribusi terbesar dalam beban operasional industri ini dari sektor hulu hingga hilir.
"Sekitar 20-25% beban industri sektor hulu adalah listrik. Untuk sektor pemintalan beban listrik mencapai 17-20%, angka yang hampir serupa juga dijumpai pada perajutan," papar Ade.
Dia juga menjelaskan kenaikan TDL ini mengancam beberapa industri gulung tikar akibat beban yang tidak kuat diterima mereka.
Ade mengaku telah mendapatkan beberapa laporan mengenai penutupan pabrik tekstil dalam negeri.
Meski belum dapat merinci, Ade mengatakan kebanyakan pabrik yang akan tutup merupakan produsen garmen dan tekstil dengan target pasar dalam negeri.
"Kecuali produk seperti kain sarung atau produk spesifik lain yang tidak diproduksi di negara lain dapat bertahan karena tidak menghadapi gempuran impor," kata Ade.
Dia memperkirakan penutupan pabrik akan berlangsung usai hari raya Idulfitri dengan memanfaatkan waktu libur Lebaran bagi para karyawannya.
"Bisa jadi pabrik dari perusahaan bermasalah tersebut akan tutup setelah lebaran dengan memanfaatkan momentum libur lebaran," katanya.
Secara terpisah, Paguyuban Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM) menyatakan penaikan listrik bagi industri besar sejak awal Mei lalu berimbas pada kenaikan bahan baku seperti benang.
"Rata-rata kan industri besar itu memproduksi benang, ya ada kenaikan sekitar 2%," kata Ketua PPTM Deden Suwega.
Meski demikian, lanjutnya, kenaikan tersebut masih dalam tahap wajar karena hal ini tidak bisa dihindari.
Dia beralasan biaya listrik selama ini berkontribusi sebesar 10% dari keseluruhan total biaya produksi.
Dengan adanya kenaikan ini, imbasnya bagi pengusaha ada kenaikan sekitar 15% untuk biaya listrik.
"Mau bagaimana lagi, asal kenaikannya tidak signifikan pengusaha masih menyanggupi sepanjang pemerintah bisa memberikan insentif jika terus tertekan," ujarnya.
Dia mengharapkan kenaikan listrik tidak akan berlaku bagi industri kelas kecil dan menengah karena bisa berdampak terpuruk.
"Kalau yang naik industri besar belum menjadi masalah. Tapi jika yang naik bagi industri kecil dan menengah, dipastikan banyak yang bangkrut," jelasnya. (Dimas Waradhitya, Wisnu Wage)