Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia Hanya 31%

Kemampuan daya saing produk industri manufaktur Indonesia di pasar Asean relatif rendah. Hanya sekitar 31,26% produk industri manufaktur yang berdaya saing tinggi dan mampu berkompetisi di Asean.

Bisnis.com, JAKARTA- Kemampuan daya saing produk industri manufaktur Indonesia di pasar Asean relatif rendah. Hanya sekitar 31,26% produk industri manufaktur yang berdaya saing tinggi dan mampu berkompetisi di Asean.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam waktu satu tahun untuk mengejar ketertinggalan. Sektor yang memiliki kemampuan daya saing kuat a.l kelompok industri tekstil dan produk tekstil, kelompok industri alas kaki, kulit, dan barang kulit, industri pupuk dan petrokimia, dan kelompok industri logam dasar, besi, dan baja.

“Kami akan jelaskan kepada semua pihak, setelah ini semua bersama-sama mencari cara untuk mengejar ketertinggalan,” kata Hidayat di Kemenperin, Rabu (2/7).

Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto menjelaskan dalam sektor industri manufaktur terdapat 3.998 pos tarif yang terdiri dari berbagai sektor industri. Sekitar 1.250 atau 31,26% pos tarif dinyatakan kuat dan mampu berkompetisi di pasar Asean. Sisanya 2,748 pos tarif atau 68,73%, masuk dalam kategori rendah dan sangat rendah.

Harjanto menggambarkan dalam bentuk indikator daya saing. Untuk industri yang masuk dalam kategori daya saing tinggi dan sangat tinggi masuk dalam kelompok K1 (sangat tinggi) dan K2 (tinggi). Indikator industri yang masuk K1adalah ekspor di atas US$10 juta dan impor di bawah US$ juta dengan indeks dan tren Revealed Competitive Advantage (RCA) positif.  Sedangkan K2, perbedaannya hanya pada tren RCA yang negatif.

Indikator industri yang masuk dalam K3 adalah ekspor di bawah US$10 juta, impor di atas US$5 juta, indeks RCA negatif dan tren RCA masih positif. Sedangkan untuk K4 adalah industri yang ekspornya di bawah US$10 juta, impor di atas US$5 juta, serta indeks dan tren RCA negatif. Menurutnya, sektor industri yang masuk dalam kelompok K3 dan K4 seperti industri semen, industri keramik dan industri pakaian jadi.

“Kami menyiasatinya untuk industri yang masuk dalam K1 dan K2 akan mengisi pasar Asean, sedangkan yang K3 dan K4 akan mengamankan pasar dalam negeri,” jelas Harjanto.

Pada sisi lain, kata Harjanto, untuk kelompok industri yang sudah kuat dan mampu berkompetisi bukannya tidak memiliki kelemahan. Saat ini, dalam industri logam masih belum ada investasi pengembangan yang menghasilkan pellet besi, pig iron, green pipe, slab stainless steel, billet stainless steel, dan batang stainless steel. Pada industri kimia dasar, masih kekurangan pengembangan industri petrokimia yang mengolah sumber daya alam berbasis migas dan batu bara.

Kemudian, secara keseluruhan neraca ekspor-impor produk manufaktur Indoensia sepanjang 2011-2013 mengalami rata-rata defisit sekitar US$986 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Riendy Astria
Editor : Taufik Wisastra

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper