Bisnis.com, PADANG-- Bank sentral melihat Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan upah buruh murah sebagai daya tarik investasi. Membesarnya segmen kelas menengah telah mendorong naik standar upah pekerja.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengatakan pilihan lokasi para investor untuk mendirikan pabrik-pabrik pada dasarnya sangat bergantung pada kemampuan daerah menekan biaya upah dan nonupah.
Sayangnya, ukuran perekonomian nasional saat ini -- dengan mentasnya Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah -- tidak memungkinkan bergantung pada murahnya upah buruh.
Menurut Agus, proses ini alamiah dan banyak terjadi di negara yang sudah lebih dulu menjadi middle income country dan bertransisi ke negara maju.
"Dengan adanya keniscayaan itu, maka tantangan kebijakan akan lebih condong pada bagaimana biaya dari sisi nonupah dapat ditekan dan produktivitas ditingkatkan agar tingkat kembalian usaha atau laba yang diperoleh investor tetap tinggi dan menarik," katanya dalam Seminar Nasional Laporan Perekonomian Indonesia 2013, Senin (9/6/2014).
Dari sisi biaya nonupah dan produktivitas, lanjutnya, fasilitas bisnis merupakan aspek utama yang perlu menjadi perhatian dalam konteks mendorong reformasi struktural.
BI mengidentifikasi beberapa hal penting untuk meningkatkan kehandalan sektor industri, a.l. kepastian hukum dan kontrak, layanan publik yang responsif, pasokan energi yang memadai, transportasi yang terintegrasi, dan kemitraan strategis antara industri dan universitas dalam rangka riset dan pengembangan.
"Jika hal-hal ini sudah tersedia, dan skala industri sudah mulai terbangun, maka dukungan pembiayaan serta jaringan pemasaran yang lebih luas akan tercipta dengan sendirinya," ujarnya.
Namun, mengingat pelaku usaha selalu melakukan perbandingan biaya dan ekspektasi laba antara satu lokasi dan lokasi lainnya, maka kecepatan implementasi kebijakan reformasi struktural untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas menjadi penting.
Agus menuturkan 'arena pacuan global' itu akan semakin kompetitif ketika barang yang diproduksi mengandung nilai tambah karena negara produsen tidak harus memiliki sumber daya alam mentah karena bisa membeli dari negara lain.
Negara produsen itu hanya perlu menjadikan negaranya 'investment friendly' dengan menyajikan suatu lingkungan ekonomi yang menjamin daya saing nonupah dan modal manusia yang produktif.
"Tentu akan sangat disayangkan bila kita kalah bersaing dalam arena pacuan ini hanya karena kita lambat dalam berbenah," ujar mantan menteri keuangan itu.