Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Listrik Sering Padam, Ternyata Begini Kondisi PLN yang Tak Berdaya

Tak sampai setengah menit sejak listrik padam, laman media sosial dipenuhi hujatan. Nadanya serupa, mempertanyakan kenapa listrik mati dan menempatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - 

Tak sampai setengah menit sejak listrik padam, laman media sosial seperti Facebook dan Twitter dipenuhi hujatan. Nadanya serupa, mempertanyakan kenapa listrik mati dan menempatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.

Hal yang sama terjadi ketika Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menyebut Indonesia—tepatnya Jawa, karena wilayah Luar Jawa saat inipun telah mengalami defisit listrik—akan mengalami krisis listrik pada 2018, semua mata tertuju pada perseroan itu.

PLN pun sepertinya sudah gerah terus-terusan disalahkan. Tak hanya sekali Direktur Perencanaan dan Afiliasi Anak Perusahaan PLN Murtaqi Syamsyuddin mengungkap ketidakmampuan perusahaannya menyelesaikan persoalan listrik nasional.

“Tugas melistriki Nusantara tak bisa hanya bertumpu pada PLN,” katanya dalam beberapa kesempatan.

Pertumbuhan kebutuhan listrik memang tak sebanding dengan kemampuan PLN menyediakan pembangkit. Kebutuhan setrum selalu naik 5.300 MW per tahun, sedangkan PLN hanya bisa memenuhi sekitar 4.000 MW tiap tahunnya.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2013-2023diperlukan tambahan kapasitas pembangkit sebanyak 59,5 GW untuk melayani pertumbuhan kebutuhan listrik yang mencapai 386 TWh pada 2023. Dari total kapasitas itu, PLN hanya akan membangun 16,9 GW.

Dalam dokumen yang menjadi acuan penyediaan listrik di Indonesia itu, tersirat adanya penurunan peran PLN dalam upaya melistriki Nusantara. Misalnya pada 2018, PLN hanya akan memenuhi kebutuhan pembangkit sebesar 1.234 MW dan terus merosot hingga tersisa hanya 55 MW pada 2019.

Keterbatasan keuangan melatarbelakangi merosotnya peran PLN. Pemenuhan listrik di Indonesia mencapai US$12,5 miliar setiap tahun, sementara kemampuan PLN hanya US$5 miliar per tahun.

Selain itu, utang PLN yang menggunung juga menjadi persoalan tersendiri. Membengkaknya utang BUMN listrik tersebut sudah mendapatkan peringatan dari badan rating perusahaan nasional. Utang PLN mencapai Rp400 triliun, padahal aset perseroan itu hanya berkisar Rp600 triliun.

Lebih miris lagi, baru-baru ini perusahaan yang berdiri sejak 1945 itu mengaku tak memiliki uang tunai. Akibatnya, PLN harus mengerem sejumlah proyek yang saat ini tengah dikerjakan.

Ketiadaan dana tunai juga memaksa perseroan tak mengindahkan pengajuan ribuan calon pelanggan baru yang ingin menikmati listrik. PLN tak memiliki uang untuk menebus meteran dan kabel yang telah dipesan untuk sambungan baru.

Sejatinya, persoalan listrik nasional sedikit terurai dengan penyediaan listrik swasta (independent power producer/IPP). Peran IPP pun terus meningkat seiring berjalannya waktu.

Sayangnya, PLN memiliki keterbatasan kemampuan dalam pendanaan IPP karena mensyaratkan pembangkit yang dibangun harus dibeli PLN. Terdapat aturan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan nomor 8 (ISAK 8) yang harus dilaksanakan PLN. Standar tersebut mengharuskan pembiayaan jangka panjang dan sewa jangka panjang seperti IPP harus dikonsolidasikan sebagai hutang PLN.

Dampaknya, hutang PLN menjadi sangat besar dibandingkan dengan equity. Artinya, meskipun dana tunai BUMN listrik itu tidak mengalami masalah untuk membayar hutang, namun neraca hutang PLN sudah tidak seimbang.

Pemerintah tidak menutup mata dengan keterbatasan PLN. Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengan menggodok regulasi power wheeling yang memungkinkan produsen listrik swasta membangun pembangkit dan menjual listrik secara langsung tanpa melalui PLN.

Pemerintah berharap regulasi baru mampu mengurai kekusutan penyediaan listrik nasional. Sayangnya, PLN meragukan efektifitas regulasi yang direncanakan akan diteken tahun ini.

Menurut Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, regulasi itu tidak akan menarik minat swasta membangun pembangkit listrik. “Secara regulasi dimungkinkan, namun secara komersial belum tentu terlaksana.

Pasalnya, skema power wheeling berbeda dengan IPP yang listriknya dibeli PLN. Produsen listrik swasta dengan skema power wheeling tak memiliki jaminan konsumen yang mengakibatkan lembaga pemberi modal tak akan memberikan kredit dengan mudah.

Secara regulasi, tanggung jawab melistriki Tanah Air sebenarnya tak lagi bertumpu pada PLN. Melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009, pemerintah telah mencabut hak monopoli PLN sebagai satu-satunya penyedia listrik di Indonesia.

Beleid itu mengamanatkan distribusi peran penyediaan listrik nasional ke tangan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah. Artinya, tugas memasok setrum di Indonesia tak lagi hanya bergantung di tangan Pemerintah Pusat.

Dalam UU tersebut, pembagian peran antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota telah diatur dengan gamblang. Di sana, tertulis pemprov dan pemkab berwenang mengatur usaha penyediaan listrik di wilayahnya, termasuk kewenangan mengatur tarif.


TIDAK TERTARIK 

Sayangnya, sampai saat ini pemda tak tertarik membangkitkan setrum secara mandiri. Pikiran penyediaan listrik harus diserahkan kepada pemerintah pusat terlanjur mendarah daging dalam benak pemangku kebijakan di daerah. Tak mudah mengubah paradigma itu lantaran hak monopoli PLN telah ditetapkan sejak awal kemerdekaan.

“Seringkali pemda menyurati PLN, presiden, dan menteri mengeluhkan daerahnya kekurangan pasokan listrik serta merasa tidak diperhatikan. Seharusnya mereka sediakan [listrik] sendiri kalau merasa kekurangan,” ujar Nur Pamudji.

Nur menyebutkan terdapat sejumlah contoh partisipasi pemda dalam penyediaan listrik. Misalnya, inisiasi PLN dalam penyediaan listrik bekerja sama dengan Pemkot Batam melalui anak perusahaannya PT Pelayanan Listrik Nasional Batam (PT PLN Batam). “Tarif listrik di sana ditentukan langsung oleh pemda.”

Selain itu, Pemprov Jawa Barat dan Jawa Tengah juga berkontribusi dengan membangun jaringan distribusi yang pengelolaannya diserahkan kepada PLN. Namun, upaya ketiga daerah itu tidak merembet ke daerah lain.

Seharusnya, pemda kaya yang memiliki sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) yang besar seharusnya mampu menyediakan listrik untuk daerahnya. Provinsi dengan pendapatan domestik bruto (PDB) selangit seperti Kalimantan, Riau, dan Sumatra Selatan pun harusnya tak lagi bergantung pada PLN.

Murtaqi menyebutkan diperlukan peningkatan kapasitas di kalangan pemangku kebijakan daerah. Selain itu, anggaran kelistrikan di APBN yang berjumlah Rp6 miliar-Rp7 miliar per tahun sebagian perlu dialokasikan untuk jaringan distribusi yang diselenggarakan mandiri oleh pemda.

“Agar pemda pun ikut merasakan bagaimana degup jantung menyediakan listrik,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fauzul Muna
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper