Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha kelapa sawit meminta pemerintah agar bijak dalam pengelolaan lahan gambut dengan mencabut moratorium, karena regulasi itu tidak menyelesaikan masalah.
Regulasi yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 6/2013 itu dinilai bukan solusi komprehensif, karena lahan gambut yang tidak dibudidayakan justru menyumbang emisi lebih besar.
"Kalau gambut rusak, justru emisi karbonnya lebih tinggi. Lagipula sampai saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut perawan hanya 3% kok. Sangat kecil," ujar Sekjen Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Selasa (3/6/2014).
Dengan mengutip berbagai jurnal ilmiah, Joko menuturkan bahwa gambut yang ditanami kelapa sawit mereduksi hampir setengah emisi dibandingkan dengan gambut tropis atau sawah gambut, yaitu di kisaran 31,4-57,06 co2/ha/tahun.
Dia menjelaskan, di negara sentra kelapa sawit lain, seperti Malaysia, perkebunan kelapa sawit bahkan ditanam di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 8 meter.
Di sisi lain, Joko mengakui bahwa biaya investasi kelapa sawit di lahan gambut memang sedikit lebih mahal dibanding dengan hamparan lain.
Namun, dia menuturkan, selama estimasi investasi tepat dan masih menghasilkan keuntungan, selalu ada kemungkinan investor atau pengusaha akan tetap berusaha di areal gambut.
"Makanya tata-ruangnya harus jelas. Mana areal yang boleh, mana yang tidak, supaya investor tidak bingung," katanya.