Bisnis.com, BEKASI - Pembudidaya ikan hias Bekasi mengakui belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas dalam implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir 2015 karena kesulitan pinjaman permodalan dari perbankan.
Selain itu, pembudidaya mengeluhkan regulasi pemerintah yang dianggap kurang mendukung perkembangan perdagangan ikan hias untuk ekspor.
Ketua Asosiasi Ikan Hias Bekasi Atep Setiawan mengatakan pembudidaya ikan hias kesulitan untuk menambah permodalan bisnisnya dari perbankan. Selama ini, modal yang didapat petani dari pinjaman koperasi petani ikan hias.
“Dalam menghadapi MEA 2015, kami belum siap. Pembudidaya kesulitan meminjam modal di perbankan. Saat MEA, bisa jadi kami hanya menjadi penonton,” papar Atep kepada Bisnis.com, Minggu (25/5/2014).
Lembaga perbankan, menurut Atep, beralasan tidak mau menanggung risiko dalam bisnis pembudidayaan ikan yang berkategori makhluk hidup. Padahal, kata dia, perkembangan bisnis ikan hias di Kota Bekasi cukup berpotensi bertumbuh.
Atep menceritakan keberadaan pembudidaya ikan hias akan tumbang. Namun tidak halnya di Bekasi, ujarnya, pembudidaya dengan ulet menjalani bisnis ikan hias sejak 1980-an hingga sekarang menembus pasar ekspor ke berbagai negara maju, seperti Amerika, Eropa, Timur Tengah dan beberapa negara Asean.
“Pembudidaya luar negeri mendapatkan berbagai kemudahan dari pemerintah setempat. Mereka benar-benar bisa bisnis ikan hias dengan pesat. Padahal, ikan mereka merupakan hasil kiriman dari Bekasi,” paparnya.
Pihaknya menguraikan pemerintah luar negeri memperhatikan nasib pembudidaya ikan hias dengan ikut serta menyediakan lahan minimal 1 hektar (ha) bagi masing-masing petani dengan tujuan untuk membudidayakan ikan hias.
Sebaliknya, masalah permodalan dan ketersediaan lahan budidaya ikan menjadi masalah yang sampai saat ini belum terselesaikan. Atep menganggap pemerintah Indonesia kurang peka dalam persoalan yang menimpa pembudidaya ikan hias.
Padahal, kata dia, lahan pemerintah yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan budidaya ikan hias cukup luas. “Bahkan, kami pun sebenarnya siap menyewa jika pemerintah menyediakan lahan,” ujarnya.
Minimnya perhatian pemerintah Indonesia, ujar Atep, berdampak negatif bagi perkembangan ikan hias Indonesia. Dia mengatakan negara luar selalu meng-klaim ikan hias asal Indonesia. Misalnya, botia di klaim Singapura, cupang diklaim Thailand, rainbow diklaim Prancis.
Berdasarkan data asosiasi, meskipun Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia, pertum-buhan ekspor ikan hias Indonesia hanya 4,7%. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan ne-gara pesaing, seperti RRC (64,43%), Taiwan (38,62%), Srilanka (32,36%), dan Singapura (12,74%).
Petugas Bina Usaha Perikanan dan Pembudidayaan Dinas Pereko-nomian Rakyat (Dispera) Kota Bekasi Agus Mulyana mengata-kan pada 2015, pihak Pemkot siap memfasilitasi keinginan pembudidaya ikan hias dengan membuat balai perikanan.
Menurutnya, tempat tersebut digunakan oleh petani untuk budidaya ikan hias yang selama ini menjadi produk andalan Kota Bekasi. “
Sistemnya kerja sama. Kami memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, begitu pula sebaliknya.”
Dia mengakui produksi ikan hias dari Bekasi banyak diminati oleh kolektor dari berbagai negara. Oleh sebab itu, ujarnya, Pemkot terus mendorong upaya promosi maupun penjualan dengan mengadakan even pameran.